Teknik kultur jaringan tumbuhan dikenal sebagai metoda untuk mengisolasi dan memelihara bagian tumbuhan pada medium buatan di dalam tabung (in vitro) dan dengan kondisi yang aseptik. Ada beberapa tahapan yang biasa dilakukan dalam metode kultur jaringan tersebut yaitu pada awalnya dilakukan inisiasi kultur, selanjutnya dilakukan pembuatan media, sterilisasi, multiplikasi, pengakaran dan aklimatisasi. Dengan komposisi medium yang tepat, jaringan tumbuhan yang dipelihara secara in vitro mampu mengalami pembelahan sel, berdiferensiasi dan selanjutnya membentuk individu tumbuhan yang utuh melalui proses organogenesis maupun embriogenesis somatik. Saat setelah tahap aklimatisasi, kultur kalus pada medium padat perlu dipindahkan ke medium cair agar dapat dilakukan perhitungan jumlah sel. Kuantifikasi sel dapat berupa penentuan jumlah sel yang hidup maupun mati dan penentuan massa sel yang ada dalam media kultur. Kuantifikasi sel dalam percobaan ini dilakukan untuk mengetahui kombinasi zat pengatur tumbuh (zpt) yang dapat mengoptimalkan laju pertumbuhan sel kultur.
Kuantifikasi sel merupakan perhitungan jumlah sel maupun penentuan massa sel yang ada di media kultur dalam satuan ukuran banyaknya sel per mililiter suspensi. Metode yang digunakan untuk menghitung jumlah sel dalam sebuah kultur dapat menggunakan alat spektrofotometer dan hemasitometer. Spektofotometer menghitung jumlah sel berdasarkan banyaknya cahaya yang diabsorbsi oleh sel-sel kultur, sedangkan metode hemasitometer atau yang juga disebut Counting chamber yaitu menghitung jumlah sel secara manual di bawah mikroskop. Selain untuk menghitung jumlah sel-sel kultur tanaman, spektrofotometer dan hemasitometer biasa digunakan untuk menghitung jumlah sel mikroorganisme dan sel darah merah. Aplikasi dari kuantifikasi sel yaitu seperti perhitungan sel darah manusia untuk mengetahui apakah sel darah pada tubuh pasien normal atau tidak.
Kultur in vitro biasanya menggunakan medium padat ataupun medium cair. Keduanya mengandung semua nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman namun bedanya hanya pemberian bubuk agar pada medium padat. Pada dasarnya medium cair digunakan untuk mengkultur sel agar tidak terbentuk gumpalan-gumpalan agregat sel sehingga dibutuhkan medium yang bisa menjaga agar satu sel dengan sel lainnya tidak terjadi kontak dan membentuk agregat. Sedangkan penggunaan medium padat dipilih dengan tujuan mendapatkan kalus yang dapat tumbuh menjadi plantlet. Pada percobaan kali ini digunakan medium cair agar perhitungan sel yang dilakukan lebih mudah daripada menghitung kalus yang dikultur dalam media paat.
Prinsip kerja dari spektrofotometer adalah apabila ada sebuah berkas cahaya akan jatuh pada suatu medium homogen, sebagian sinar yang masuk akan dipantulkan dengan sudut yang berbeda-beda, ada sebagian lagi yang diserap oleh medium yang dilalui oleh berkas cahaya itu dan sisanya akan diteruskan. Nilai yang diperoleh adalah nilai tidak diserap maupun yang tidak dipantulkan oleh medium, dan selanjutnya dinamakan nilai absorbansi atau Optical Density (OD). Hukum Beer menyatakan bahwa absorbansi cahaya pada spektrofotometer berbanding lurus dengan konsentrasi dan ketebalan bahan atau medium. Dengan hukum Beer itu dapat disimpulkan bahwa nilai OD yang terukur sebanding dengan jumlah sel yang ada dalam kultur yang diujikan dalam spektrofotometer. (Fujimura, et al, 1979)
Sedangkan prinsip kerja hemasitometer yaitu dengan menghitung langsung jumlah sel di bawah perbesaran mikroskop. Bentuknya terdiri dari 2 counting chamber dan tiap chamber-nya memiliki garis-garis mikroskopis pada permukaan kaca. Ada 5 buah kotak yang menjadi sampel kita dan kemudian dari kelimanya dirata-rata sehingga didapat kerapatan sel dalam volume tertentu. Hasil yang diperoleh dikonversi ke dalam satuan jumlah sel per mililiter suspensi. Metode ini relatif cepat dan dapat digunakan untuk menghitung suspensi sel dengan konsentrasi rendah. Namun hemasitometer ini mempunyai beberapa kekurangan antara lain tidak digunakan untuk mengamatai sel yang berukuran sangat kecil, tingkat validitas rendah, dan sulit untuk membedakan antara sel hidup dengan sel yang mati (Mardigan, et al, 2003).
Sel yang dikultur terlebih dahulu diberikan zat pengatur tumbuh pada media yang telah mengandung nutrisi. Zat pengatur tumbuh yang digunakan pada kultur kentang pada percobaan kali ini menggunakan asam 2,4 Dichloro fenoxy acetate (2,4 D) dan Benzilamin Purine (BAP). Asam 2,4 Dichloro fenoxy acetate merupakan senyawa auksin yang berperan dalam mempercepat pertumbuhan kalus dari eksplan dan menghambat regenerasi pucuk tanaman. Sedangkan Benzilamin Purine adalah suatu senyawa sitokinin yang berperan untuk pembelahan sel dalam kultur jaringan tanaman. Perbandingan konsentrasi auksin dan sitokinin sangat mempengaruhi pertumbuhan kultur.
IV. Metodologi
1. Tanaman kentang
Bahan percobaan kali ini yang digunakan adalah sel dari umbi kentang. Kentang (Solanum tuberosum L.) termasuk dalam Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas Dicotyledonae, Ordo tubiflorae, Famili Solanaceae, Genus Solanum, dan Spesies Solanum tuberosum L. Kentang (Solanum tuberosum L) adalah tanaman umbi-umbian yang merupakan makanan pokok di Eropa, walaupun pada awalnya di datangkan dari Amerika Selatan. Kentang merupakan tanaman dari suku Solanaceae yang memiliki umbi batang yang dapat dikonsumsi yakni kentang itu sendiri. Untuk daerah yang tropis seperti Indonesia, kentang cocok ditanam di dataran tinggi yang mempunyai iklim yang sejuk. Di dalam kentang terkandung banyak sekali zat-zat yang berguna bagi tubuh, diantaranya adalah potassium (Na) dimana sangat berguna untuk meningkatkan pH didalam tubuh manusia, vitamin C yang merupakan sumber kedua selepas oren, karbohidrat sebagai sumber energi, dan fiber atau gentian sebagai pengawal tekanan darah. Kentang juga mengandung vitamin B1, B2, dan B3 serta sedikit kandungan protein dan zat besi.
Kuantifikasi sel kultur dapat berupa penentuan jumlah sel ataupun penentuan massa sel yang ada dalam media kultur. Sedangkan kuantifikasi sel dalam percobaan kali ini bertujuan untuk mengetahui kombinasi zat pengatur tumbuh (zpt) yang dapat mengoptimalkan laju pertumbuhan sel kultur. Sel yang dikultur dengan medium yang cocok dan penambahan zat pengatur tumbuh yang sesuai dengan kebutuhan kultur akan membuat regenerasi sel kultur mencapai kondisi optimal. Kultur jika mendapatkan zat pengatur tumbuh yang melebihi kebutuhan dapat menyebabkan ZPT itu bersifat toksik bagi tanaman, sedangkan kalau terlalu sedikit akan menyebabkan pertumbuhan sel kultur tidak mencapai kondisi optimal. Kecocokan kadar zat pengatur tumbuh sangat berpengaruh terhadap produktivitas sel, terutama jika nanti akan diproduksi metabolit sekunder dalam skala pabrik.
Penggunaan metode Counting chamber dan spektofotometri bertujuan untuk meningkatkan keakuratan dalam perhitungan sel. Apabila kita hanya melakukan dengan salah satu metode saja, dapat menyebabkan ketidak akuratan ataupun galat yang begitu cukup besar. hal ini diakibatkan karena human error. Kombinasi antara Counting chamber dan spektofotometer memungkinkan kita untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat karena menggabungkan dua metode yang berbeda, yaitu Spektofotometer dengan Optical Density (OD) yang merupakan nilai absorbansi yang berbanding lurus dengan konsentrasi sel dalam suspensi kultur dan hemasitometer dengan pengukuran secara manual sampel kultur. Dari kedua metode tadi didapatkan persamaan garis yang bisa digunakan untuk menentukan jumlah sel secara matematis.
Penggunaan sampel dari kultur suspensi cair bertujuan untuk memudahkan dalam penghitungan sel dalam kultur. Dalam kultur sel cair, semua sel terpisah satu sama lain walaupun ada beberapa yang membentuk agregat namun jumlahnya tidak banyak. Sedangkan dalam medium padat, untuk mengkuantifikasi sel akan lebih sulit karena berbentuk gumpalan agregat sel yang bertumpuk-tumpuk yang tidak mudah dipisahkan satu persatu antar selnya. Dan dalam kultur dengan medium padat, apabila kita menghitung jumlah sel yang ada memungkinkan kultur yang akan diukur akan terkontaminasi. Hal itu dikarenakan kultur dalam medium padat kita harus memisahkan antara kultur dengan mediumnya. Sedangkan kalau medium cair kita hanya membutuhkan beberapa sampel saja yang jumlahnya sedikit untuk menghitung jumlah sel yang ada dalam kultur. Sehingga kultur padat tidak efisien untuk perhitungan sel.
Dari hasil perhitungan, didapatkan bahwa jumlah sel dalam kultur suspensi dari percobaan shift II lebih besar daripada dari percobaan shift I. Hal ini menunjukkan bahwa komposisi zat pengatur tumbuh di medium shift II lebih optimal daripada komposisi zat pengatur tumbuh pada medium shift I walaupun kadarnya lebih rendah. Hal itu menunjukkan bahwa banyak sedikitnya komposisi zat pengatur tumbuh tidak menjamin optimalisasi hasil yang di dapat. Komposisi zat pengatur tumbuh yang tepat dan optimal hanya bisa didapat pada percobaan. Dan dalam sel tanaman mempunyai kemampuan untuk mensintesis zat pengatur tumbuhnya sendiri yang sering disebut hormon endogen. Sedangkan dalam percobaan kali ini kita menggunakan zat pengatur tumbuh eksogen buatan manusia.
Dapat disimpulkan bahwa komposisi ZPT yang optimal untuk pertumbuhan sel kentang adalah ZPT 2,4 D 0,11 ppm dan BAP 1,1 ppm.
0 komentar:
Posting Komentar