Tampilkan postingan dengan label Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Indonesia. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 17 Maret 2012

I and Facebook

By : Ahmad Syamsu Rizal
   Facebook adalah jejaring sosial yang mungkin saja sangat aku sukai. Disanalah tempat berbagi perasaan maupun cerita-cerita ataupun status menarik yang kita alami. Facebook sangatlah dikenal setiap orang, hampir kebanyakan orang memakainya setiap hari termasuk aku, :-).
   Tapi hari ini aku memutuskan untuk meninggalkan akun facebookku yang sudah mempunyai teman sekitar 1850 lebih. Sungguh berat rasanya meninggalkan akun facebook kesayangan. Tapi inilah aku, aku kurang begitu menguasai perasaan. Setiap agak pusing dengan pelajaran kuliah maupun sedang bosan, larinya pasti membuka facebook.
   Aku tergolong orang yang suka update status waktu kesal dengan sesuatu. Tapi akibatnya, status yang dibuat agak nyleneh, status yang menurutku wajar tapi menurut orang lain tidak sama dengan pendapatku. Aku sering meganggap waktu update status selalu "Just Status". Artinya tidak nyata, cuma iseng-iseng aja. Sebenarnya aku sadar bahwa itu salah, tapi kelamahan seorang manusia menyepelekan perbuatan kecil.
   Tapi aku juga sadar bahwa memiliki akun facebook lumayan menyita waktu. Terutama saat loading, kalau tidak punya modem yang super cepat dapat dipastikan 70% waktu facebook kita habis untuk menunggu loading. Sering kali "Ah, lima menit aja facebookannya. Ntar langsung off lagi." Itulah yang sering aku jumpai dalam kehidupanku dan facebookku. Tapi nyata-nyata, kita akan online selama 2 jam tana kita sadari. Nge-chat teman yang sudah lama tidak pernah ketemu lah, ngomentari status alay yang tak masuk akal lah.
   Aku sudah berkali-kali melakukan kesalahan yang sama. Melakukan Bom Status facebook. Tiap kali online langsung 10 status meluncur deras. Aku sudah berkali-kali mencoba untuk tidak update status yang tidak penting, namun pada kenyataannya setelah satu minggu atau dua minggu setelah puasa facebook, maka dapat dikatakan aku langsung kembali lengket kepada facebook dengan mengupdate status.
   Aku dan facebook seperti grafik fungsi sinus maupun kosinus yang naik turun-naik turun. Setelah puasa facebook, 2 minggu kemudia buka facebook (meniru kata-kata buka puasa yang sebelumnya melakukan puasa).
   Tapi sebenarnya bukan menutup akun facebook lama, tetapi hanya menelantarkan akunku itu dan tidak akan melakukan aktivitas apapun dengan akun itu. Kalaupun ada permintaan pertemanan, pastinya tidak akan aku accept.
   Tetapi aku sebenarnya membuat akun satu lagi yang baru. Akun baru ini juga akan seperti akun lamaku. Kalau ada permintaan pertemanan tidak akan aku accept. Akun baruku ini tujuannya hanya satu, agar bisa membuka grup-grup komunitasku saja. Selain itu akan aku katakan tidak untuk yang lain.
   Aku teringat kata-kata temanku. "Orang laki-laki itu mempunyai tugas terhadap istrinya nanti setelah menikah." Bagaimana aku mau sukses jika aku tetap suka menghabiskan waktu untuk membuka akun facebook maupun mengomentari status para ahli galau sedunia.
   Alhamulillah, semoga aku tetap dalam perlindungan Allah dan aku ingin membangun Indonesiaku di masa mendatang dengan banyak menghargai waktu di masa mudaku.
   I say Good bye to facebook, aku harus bersungguh-sungguh kuliah dan ingatkan aku kawan jika aku tetap malas-malasan. Jika ada kata salah itu memang dari saya pribadi dan kalau ada yang benar dari saya, hal itu semata-mata milik pemberian Allah Yang Maha Agung.

*Bahasanya acak-acakan, tapi semoga bermanfaat...... --v

Jumat, 02 Maret 2012

Eksploitasi pelajar terbaik negeri

Masyarakat Barat Modern cenderung menganggap ilmu itu sebagai alat untuk mengetahui dan mengendalikan alam untuk diambil manfaatnya bagi keperluan hidup sehari-hari. Itu sebabnya masyarakat Barat sangat mendewakan teknologi karena teknologi merupakan alat yang efektif untuk mengendalikan alam. “Knowledge is power (ilmu itu kekuasaan)”, demikian kata Bacon, seorang pemikir sains Barat modern. Kekuasaan di sini bermakna kekuasaan untuk menguasai alam. Bahkan lebih dari itu, ilmu rupanya bukan saja menjadi alat untuk mengendalikan alam, melainkan untuk menguasai manusia juga. Misalnya, dengan ilmu sains dan teknologi militer yang canggih Amerika menakut-nakuti negara kecil yang lemah teknologinya.

Karena ilmu merupakan alat untuk berkuasa, orang Barat modern cenderung berusaha mempertahankan keunggulan ilmu yang mereka miliki. Mereka tidak mau begitu saja membagi ilmu mereka dengan pihak lain, kecuali jika mereka bisa mendapat keuntungan dari membagi ilmu tersebut. Contohnya bisa ditemukan di zaman penjajahan Belanda di Indonesia dulu. Orang-orang Belanda pada masa itu sangat takut jika ada orang-orang terpelajar lahir dari kalangan bangsa Indonesia. Sebab bila kalangan terpelajar ini banyak jumlahnya, tentunya mereka tidak bisa lagi dibodohi dan besar kemungkinan akan memberontak kepada pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu mereka membatasi orang-orang pribumi tertentu saja yang boleh bersekolah. Orang-orang ini sengaja diberi kesempatan bersekolah bukan agar menjadi pintar, tapi untuk mendukung pemerintah Hindia Belanda. Tidak hanya Belanda, cara seperti ini adalah kebijakan khas bangsa-bangsa penjajah di manapun di masa itu.

Cara-cara semacam ini sebenarnya masih berlangsung hingga hari ini, hanya saja dalam bentuk yang sedikit berbeda. Saat ini banyak pelajar-pelajar dari negara berkembang datang ke pusat-pusat keilmuan di negara-negara maju di Eropa, Amerika, dan Jepang untuk menuntut ilmu. Pelajar-pelajar ini membantu riset-riset ilmiah di lembaga penelitian dan universitas setempat. Namun sebenarnya yang paling banyak menikmati hasilnya adalah bangsa bangsa maju itu sendiri. Berkat penelitian pelajar-pelajar ini sains dan teknologi di negeri mereka berkembang pesat.

Tak jarang para pelajar tersebut direkrut untuk bekerja permanen di negara Barat itu dengan iming-iming gaji tinggi. Ironisnya, bangsa-bangsa berkembang ini merasa bangga hanya karena pelajar-pelajar terbaik mereka turut berkiprah dalam penelitian sains dan teknologi di negara-negara maju. Padahal itu sama saja dengan menyerahkan aset terbaik mereka kepada negara-negara maju itu. Akibatnya, bangsa-bangsa maju ini semakin maju sedangkan bangsa-bangsa berkembang terus tertatih-tatih mengejar ketertinggalannya.
Semoga kita sadar dengan hal ini, berkarya untuk Indonesia
Sumber : unknown