Biasanya kebutuhan gas yang dibutuhkan dalam
sebuah reaksi terpenuhi dengan adanya sejumlah gas yang terlarut dalam cairan
sebagai akibat fenomena kelarutan gas dalam sebuah cairan. Namun kelarutan gas
dalam cairan memiliki keterbatasan kondisi. Kelarutan akan menurun bila terjadi
penurunan tekanan ataupun kenaikan temperatur. Pada kondisi tertentu, jumlah
gas yang terlarut dalam cairan akan sampai ke suatu nilai tertentu saja dimana
nilainya tidak bisa ditingkatkan lagi.
Reaksi antara fasa gas dan cair membutuhkan
hold up yang tinggi karena reaksi berlangsung secara lambat. hold up yang
tinggi dapat dicapai dengan meningkatkan jumlah gas yang diumpankan ke dalam
reaksi. Padahal jumlah gas yang terlarut dalam cairan tidak sebanding dengan
banyaknya udara yang dibutuhkan dalam rekasi sehingga udara tersebut mampu
menjadi faktor pembatas laju rekasi. Namun harapannya bahwa kita harus
menyuplai udara agar udara yang terlarut tinggi sehingga udara bukanlah
pereaksi pembatas.
Pada saat ini, teknologi yang digunakan untuk
meningkatkan kelarutan udara dalam cairan yaitu dengan mengalirkan
gelembung-gelembung udara dalam air. Semakin luas permukaan gelembung yang
bersentuhan dengan air maka transfer massa yang terjadi akan semakin baik.
Namun gelembung ini tidak bisa bertahan cukup lama di dalam air. Jika hal itu
terjadi, udara yang diumpankan ke dalam larutan nantinya tidak banyak termanfaatkan
dan terbuang sia-sia. Maka, dibutuhkan suplai gas umpan yang mampu waktu
tinggal yang lebih lama agar hampir seluruh gas yang diumpankan dapat berekasi
dengan cairan untuk membentuk produk secara optimal.
Proses perpindahan massa sangat penting dalam
bidang ilmu pengetahuan teknik. Perpindahan massa terjadi pada komponen dalam
campuran berpindah dalam fase yang sama atau dari fase satu ke fase yang lain
karena adanya perbedaan konsentrasi (Welasih, 2006). Proses perpindahan masa
antara fasa liquid dan fasa solid banyak dipakai dalam industri, oleh karena
itu data-data berhubungan dengan proses perpindahan masa tersebut sangat dibutuhkan.
Menurut Singh (2001), proses transfer massa
dipengaruhi oleh 9 faktor:
1. Luas permukaan kontak bahan dengan air
perendam. Semakin besar luas permukaan kontak bahan dengan air perendam maka
transfer massa yang terjadi semakin
banyak.
2. Kadar air di dalam bahan. Semakin tinggi
kadar air bahan, maka makin lambat pula kecepatan difusinya.
3. Konsentrasi, semakin besar perbedaan
konsentrasi, maka transfer massa semakin cepat.
4. Jarak dari permukaan ke pusat bahan. Semakin
besar jarak dari permukaan ke pusat bahan maka transfer massa terjadi semakin
lama karena untuk mencapai kesetimbangan yang merata dibutuhkan waktu yang lama
untuk mencapainya.
5. Semakin lama waktu perendaman, laju
pergerakan transfer massa semakin lambat karena perbedaan konsentrasi semakin
kecil.
6. Karakteristik bahan mempengaruhi transfer
massa dalam kecepatan difusivitas. Hubungan keduanya yaitu semakin besar nilai
difusivitas maka transfer massa semakin cepat.
7. Suhu juga mempengaruhi laju proses transfer
massa, semakin tinggi suhu maka pori-pori semakin besar karena protein pada
membran rusak (terdenaturasi) dan proses difusivitas semakin cepat.
8. Tekanan osmosis juga dapat mempengaruhi
laju proses difusivitas. Semakin
tinggi tekanan osmosis maka transfer massa semakin cepat.
9. Dan yang terakhir yaitu porositas. Semakin
besar/semakin banyak pori pada bahan maka semakin cepat transfer massa. Hal ini
dikarenakan semakin banyak porositasnya menyebabkan luas permukaannya semakin
besar.
Perpindahan massa dapat dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari, sebagai contoh, sedikit gula dimasukkan kedalam secangkir kopi
pada akhirnya akan larut dengan sendirinya dan mendifusi ke seluruh bagian
larutan. Banyak proses pemurnian yang menyangkut perpindahan massa. Dalam
proses uranium, larutan garam uranium diekstraksi dengan pelarut organik.
Distilasi pemisahan alkohol dari air juga menyangkut perpindahan massa.
Pemisahan SO dari “flue gas” dilakukan dengan adsorpsi dalam pelarut dasar (Geankoplis,
1997).
Sedangkan proses adsorpsi ini menurut Cheremisinoff
(1978) dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Karakteristik fisika dan kimia dari
adsorben.
2.
Karrakteristik fisika dan kimia dari adsorbat seperti ukuran partikel,
polaritas molekul, komposisi kimia dan lain-lain.
3.
Konsentrasi adsorbat didalam fase cair.
4.
pH, jika proses adsorpsi tidak terjadi pada level pH tertentu, maka variasi
level pH harus ditentukan. Dalam melakukan pengaturan pH harus benar-benar diperhatikan
untuk menyakinkan bahwa perubahan pH tidak mengubah produk utama.
5. Temperatur
6. Waktu kontak antara adsorben dan adsorbat.
Salah satu proses perpindahan massa yaitu
perpindahan udara ke suatu cairan yang biasa kita kenal dengan proses aerasi. Proses
aerasi pada air suatu cairan dapat ditempuh dengan dua cara, yang pertama yaitu
memasukkan udara ke dalam air limbah dan yang kedua memaksa air ke atas
permukaan untuk berkontak dengan udara (Adam, 2010). Cara yang kedua ditempuh
dengan menggunakan mekanik aerator yang mempunyai baling – baling sehingga
mampu menciptakan turbulensi air di saat kontak udara dengan air.
Salah satu biorekator yang bisa digunakan
untuk memberikan aerasi untuk larutan adalah Bioreaktor Air Lift. Reaktor Air
Lift merupakan salah satu jenis bioreaktor yang banyak digunakan dalam proses fermentasi
secara aerob. Parameter yang berpengaruh dalam perancangan reaktor air lift adalah
hidrodinamika reaktor dan koefisien perpindahan massa.
Pada reaktor air lift dibagi menjadi dua bagian
dengan penyekat yaitu zone riser dan downcomer. Riser merupakan bagian dengan
sirkulasi aliran tempat mengalir gas atau merupakan kolom yang berisi cairan
atau slurry yang disemprotkan gas, sedangkan downcomer merupakan bagian yang
kedua dan tempat sirkulasi aliran dalam reaktor. Perbedaan hold up gas pada
daerah yang dialiri gas maupun yang tidak dialiri gas merupakan akibat
perbedaan densityfluida pada kedua daerah tersebut. Perbedaan ini mengakibatkan
terjadinya sirkulasi fluida dalam reaktor. Pada riser dan downcomer mungkin
terdapat plate penyaringan dan baffle pada dinding. Jadi banyak sekali kemungkinan
bentuk reaktor dengan keuntungan penggunaan dan tujuan yang berbeda-beda.
Menurut Williams (2002), reaktor air lift
mempunyai banyak keuntungan dibandingkan dengan reaktor konvensional.
Keuntungan itu diantaranya perancangannya sederhana, aliran dan pengadukan
mudah dikendalikan, waktu tinggal dalam reaktor seragam, kontak area lebih luas
dengan energi input yang rendah dan dapat meningkatkan perpindahan massa.
Kelemahan reaktor air lift antara lain : biaya investasi awal mahal terutama
untuk skala proses yang besar, membutuhkan tekanan yang tinggi untuk skala
proses yang besar, pemisahan gas dan cairan tidak efisien ketika terjadi busa
(foaming). Meskipun sudah banyak keberhasilan di industri dari penggunaan air
lift, namun macam penggunaannya masih sangat terbatas, karena sedikitnya
literature tentang konsep dasar yang digunakan dalam perancangan.
Menurut Thoenes, terdapat 3 tipe aliran
gelembung udara, yaitu: aliran gelembung homogen (gelembung udara kecil dengan diameter
seragam tersebar merata pada cairan), aliran gelembung heterogen (gelembung
besar dengan bentuk tidak teratur bergerak cepat ke atas), dan aliran slug
(gelembung udara terbentuk dengan ukuran sebesar diameter kolom).
Sedangkan Mashelkar (1970) mengemukakan bahwa secara umum
konsentrasi gelembung udara (εb) dalam kolom ge-lembung mencerminkan
retensi gelembung dalam cairan. Konsentrasi gelembung udara (εb)
dalam kolom merupakan indikasi besarnya waktu tinggal (residence time) udara
dan luas bidang antar fase efektif. Besarnya kandungan udara dalam kolam air
yang diberi sparger bervariasi tergantung pada kecepatan superfisial gelembung udara
(us).
Daftar Pustaka
Adam, P., Rochmadi, Kamulyan, B. 2010. Pengaruh
Kecepatan Superfisial Dan Hold-Up Gelembung Udara Pada Kolom Aerator Vertikal
Terhadap Koefisien Transfer Oksigen. http://pdm-mipa.ugm.ac.id/ojs/index.php/ijc/article/viewFile/372/389 pada tanggal 5 Maret 2013 pukul 16.30
Cheremisinoff. Paul, N., Ellerbusch, F. 1978. Carbon
Adsordtion Handbook. Ann Arbor Science Publishers, inc, Michigan.
Geankoplis, C. 1997. Transport Processes
and Unit Oprations,3th edition. Allyn & Bacon. Hal. 45-49.
Mashelkar, A. 1970. Bubble Columns, British
Chemical Engineering, 15(10). Hal. 1297-1304.
Merchuk, G. Bioreactors, Air-Lift Reactors. http://faculty.ccbcmd.edu/courses/bio141/lecguide/unit6/metabolism/growth/growthob.html pada tanggal 6 Maret 2013 pukul 21.30
Nurhasanah, Darusman, L., Sutjahjo, S.,
Widiati, B. 2007. Efektivitas Pemberian Udara Berkecepatan Tinggi Dalam
Menurunkan Polutan Leachate Tpa Sampah: Studi Kasus Di Tpa Sampah Galuga Kota
Bogor. http://repository.ipb.ac.id/ojs/index.php/ijc/article/viewFile/372/389 pada tanggal 4 Maret 2013 pukul 20.30
Singh, R. Paul., and Heldman, D. R. 2001.
Introduction to Food Engineering 3rd edition. Academic Press : California, USA.
Thoenes, D. 1994. Course on Two-phase Reactors.
Williams, JA. 2002. Keys To Bioreactor
Selections. Chem. Eng. Prog, hal 34-41.
Welasih, Tjatoer. 2006. Penentuan Koefisien
Perpindahan Massa Liquid Solid Dalam Kolom Packed Bed Dengan Metode Adsorpsi. diunduh dari http://ejournal.upnjatim.ac.id/index.php/tekkim/article/download/14/10 pada tanggal 4 Maret 2013 pukul 20.30.
0 komentar:
Posting Komentar