Sesuai kebiasaan, santri pondok putri tiap malam habis salat tarawih pada
bulan ramadhan selalu naik ke lantai tiga pondok mereka. Mereka sering
mengobrol di lantai tiga pondok mereka yang tidak mempunyai atap. Tempat ini
biasanya digunakan untuk menjemur pakaian. Mereka disini biasanya juga melihat
indahnya langit malam.
Lantai tiga pondok kami juga sama seperti mereka, tempat untuk menjemur
dan tanpa ada atapnya. Lantai tiga pondok kami dan lantai pondok santri putri
hanya terpisah kurang dari sepuluh meter. Di lantai tiga pondok kami juga ada
kubah mushala. Dan apabila kami berdiri di kubah mushala pondok, kami bisa melihat
kepala para santri putri. Tetapi tubuh mereka tertutup oleh tingginya tembok
yang mengelilingi lantai 3 pondok santri putri sebelah.
Petasan telah siap dan berada di kantong gus kecil, adiknya gus yang mengajak
kami menjahili santri putri. Gus kecil sekarang masih kelas lima Sekolah dasar.
Tapi keberaniannya di segala hal tidak perlu diragukan lagi.
Gus yang mengajak kami menjahili pondok sebelah dengan petasan bernama
gus Riza, dia masih kelas satu SMP. Sedangkan adiknya bernama Gus Fikri yang
merupakan anak ke empat abah dari enam bersaudara.
Di lantai tiga pondok putri terdengar suara ramai bercandaan para
santri putri. Hal ini merupakan kesempatan terbaik untuk menjahili para santri
putri yang jumlahnya cukup banyak.
Korek api menyala. Petasan siap dilempar. Aku (temanku yang bernama
Rizka, memakai kata aku biar lebih terasa pelakunya) menjadi pelempar pertama
petasan. Perang dunia ketiga segera dimulai ketika aku sudah melemparkan
petasan pembuka. Peristiwa jahil yang mempertemukan antara pondok puta belakang
putra dan pondok putri belakang. Jantungku berdtak cukup kencang bak serigala
akan menerkam mangsanya yang hanya beberapa senti saja di depannya. Sangat
cepat. Ketakutanku ada beberapa. Ketakutan pertama jika aku salah melemparnya
dan jatuh ke rumah warga sekitar pondok. bisa-bisa, aku tinggal menunggu
cincangan dari Abah pondok. Atau bahkan aku di sate dan kemudian dibakar
habis-habisan. Kedua, meledak mengenai jemuran anak perempuan dan kemudian
terbakar. Bisa-bisa nanti pondok putri belakang terjadi kebakaran hebat. Itu
sangat berbahaya.
Dengan segala daya dan mengesampingkan itu aku bersiap untuk menmbakkan
peluru pertama melalui meriam besar. kapal musuh sudah dekat. Mau tidak mau aku
harus secepatnya melemparkan peluru dari meriamnya.
Sekuat tenaga aku melempar petasan ke pondok putri sebelah. Kertas yang
berbentuk tabung dan disertai uceng yang sudah menyala merah merona terbang bak
komet yang menembus atmosfer bumi. Berjuang sekuat tenaga petasan itu melawan
angin dengan bermodal gaya dorong dariku. Petasan itu agak berbelok akibat ada
seikit gaya dari angin. Sekarang mulai menembus atmosfer dari pondok putri.
Bertabrakan dengan gas oksigen. Berusaha untuk terus melaju sampai tempat tujuan. Tidak mau berhenti jika belum
terlaksana tugasnya.
Bulan sabit sepertinya mulai tidak tega ketika petasan yang aku lempar
hanya kurang dari satu meter menyentuh lantai tiga pondok putri. Bulan sabit
hanya bisa menutup matanya namun tetap berada di atas kami. Menunaikan tugas
mulia menyinari bumi.
“Apa itu???????????” Teriak salah satu santri pondok putri ketika
melihat sebuah titik putih merah menyala bergerak mendekati lantai pondoknya.
“jedaaaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr.” Suara keras dari
meriam di perang dunia ketiga begitu kerasa sampai ke telinga kami. Kami
tersenyum antar santri putra lain di tengah petangnya malam. Apalagi sekarang
hanya bulan sabit, bukan bulan purnama.
“Ada petasannnnnnnnnnn.........” teriak salah satu anak pondok putri
setelah petasan pertama meledak.
Lemparanku tepat sasaran. Untunglah tidak mengenai baju yang sedag
dijemur.
Santri putri berteriak histeris dan semakin lama teriakannya semakin
hilang pertanda kami harus menyerang untuk kali kedua.
Gus besar mengambil sebuah petasan kretek yang bentuknya bulat dan
mempunyai satu uceng. Dinamakan ptasan kretek karena suaranya yang
kretek-kretek seperti pohon bambu yang patah.
Petasan sudah dinyalakan. Aku lagi yang akan melempar. Semua santri
lain belum menunjukkan keberaniannya sehingga aku maju lagi untuk menyerang
pondok putri sebelah.
Petasan terbang tinggi lagi, dan sepertinya santriwati pondok sebelah
sudah mengantisipasi sehingga dari jauh sebelum meledak mereka sudah berteriak
ketakutan. Mereka sepertinya mengumpul di sebuah tempat yang tidak mungkin kami
jangkau dengan kekuatan melempar kami.
Angin malam berhembus sepoi-sepoi dan lagi-lagi mengganggu kestabilan
laju petasan ke target. Petasan terus melaju dan memasuki wilayah kekuasaan
pondok putri. Pertarungan antar gender. Gender laki-laki sebagai penyerang dan
gender perempuan sebagai bertahan.
Petasan makin dekat dengan pondok putri.
“Itu....Itu........ petasannyaaaaaa............
Lariiiiiiiiiiiiiiii..............”
Petasan yang sangat diharapkan untuk kembali memporak-porandakan kubu
lawan tidak terdengar sampai telinga kami. Suasana sepi. Seketika santriwati
pondok sebelah ramai.
“Horeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee................”
Dengan sangat jelas kami mendengar mereka gaduh sekali karena petasan
yang kami lemparkan ke sana gagal. Dengan rasa menyesal petasan itu masuk ke
dalam timba yang penuh dengan air. Timba yang biasa digunakan oleh santriwati
untuk mencuci baju. Kami gagal. Mereka tertawa riang.
Aku mudur, aku tidak beruntung untuk lemparan kedua. Sekarang gantian
Gus Riza yang mengganti posisiku sebagai pelempar.
Dan lemparan yang ketiga ini sukses besar, begitu juga lemparan
keempat. Petasan keempat telah membuat mereka mengosongkan seisi lantai tiga
pondok mereka.
Suasana begitu legang, tidak ada suara bercandaan dari pondok sebelah
lagi, yang ada hanyalah suara jangkrik yang semakin lama semakin keras.
Suasana semain lama semain dingin saja. Angin-angin bertiup sepoi-sepoi
menerpa kulit kami. Dinginnya malam tidak menghilangkan senyum kami. Kami
seolah mendapatkan kemenangan setelah berhasil membuat gaduh pondok putri
disebelah pondok kami. Kami tidak tahu kapan lagi akan melancarkan kejahilan
berikutnya. Kami bisa tersenyum dan tertawa melihat kegaduhan santriwati pondok
putri sebelah. Untungnya hari ini kejahilan kami tidak ketahuan siapapun termasuk
abah pondok yang sangat kami takuti apabila Beliau marah. Kejahilan yang
membabi buta di malam bulan Ramadhan ini.
Di pondok ini mempunyai 5 orang Gus, anak pertama sekarang mondok di
tempat antah berantah yang aku sendiri belum tahu. Untuk anak kedua adalah
seorang putri yang biasa dipanggil Ning. Kami memanggilnya Ning Rina dan kini
juga sedang mondok di sebuah pondok terbesar di kota kediri. Anak ke 3 dan ke 4
nya yaitu yang menemani kami menjahili pondok putri tadi dan anak yang ke 5 dan
6 adalah Gus kecil, namanya Gus Nafi’ dan Gus Ian.
Menurutku, aku sekarang bukanlah mondok akan tetapi aku disini kost di
rumah Seorang Pak Kyai. Tapi bedanya kami juga ngaji kitab dan untuk lebih
mudahnya kami menyebutnya mondok bukan kost karena kami juga mengaji kitab khas
anak pondokan.
0 komentar:
Posting Komentar