Kuantifikasi sel merupakan perhitungan jumlah
sel maupun penentuan massa sel yang ada di media kultur dalam satuan ukuran
banyaknya sel per mililiter suspensi. Metode yang digunakan untuk menghitung
jumlah sel dalam sebuah kultur dapat menggunakan alat spektrofotometer atau
hemasitometer.
Ada beberapa macam teknik kromatografi, dari
teknik yang sederhana sampai teknik modern. Teknik sederhana dapat dilakukan
dengan Kromatografi Kertas (KKt) dengan menggunakan kertas Watmann 3.
Kromatografi yang lebih maju dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT), yaitu
dengan silika gel pada pelat alumenium/ plastik. Untuk zat yang mudah menguap
dilakaukan dengan teknik Kromatografi Gas. Teknik lain adalah dengan
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Suyitno, 2008).
Spektofotometer menghitung jumlah sel
berdasarkan banyaknya cahaya yang diabsorbsi oleh sel-sel yang ditaruh dalam
suatu larutan, sedangkan metode hemasitometer atau Counting chamber
yaitu menghitung jumlah sel secara manual di bawah mikroskop. Selain untuk
menghitung jumlah sel-sel kultur tanaman, spektrofotometer dan hemasitometer
biasa digunakan untuk menghitung jumlah sel mikroorganisme dan sel darah merah.
Aplikasi dari kuantifikasi sel yaitu seperti perhitungan sel darah manusia
untuk mengetahui apakah sel darah pada tubuh pasien normal atau tidak.
Panjang gelombang untuk sinar ultraviolet
antara 200-400 nm sedangkan panjang gelombang untuk sinar tampak/visible antara
400-750 nm. Spektrofotometri elektromagnetik monokromatik, yang diserap zat.
Spektrofotometer pada dasarnya terdiri atas serapan panjang adalah gelombang
pengukuran tertentu yang sumber sinar monokromator, tempat sel untuk zat yang
diperiksa, detektor, penguat arus dan alat ukur atau pencatat (Anonim1).
Larutan yang berwarna akan menyerap panjang
gelombang sinar tertentu. Setiap larutan akan menyerap panjang gelombang
tertentu secara maksimal. Semakin banyak zat terlarut akan menyerap panjang
gelombang tertentu lebih besar. Dengan demikian perbedaan serapan sinar
menunjukkan intensitas zat terlarut yang diukur. Ada hubungan antara penyerapan
sinar atau panjang gelombang tertentu denan konsentrasi larutan. Besarnya sinat
diserap larutan disebut “Optical density (OD) atau nilai Absorbansi (Suyitno,
2008).
Sebagian sinar yang tidak terserap merupakan
sinar yang dilewatkan (transmit), disebut nilai transmitan (Suyitno, 2008).
Biasanya dinyatakan dalam persen (%) yaitu menggunakan rumus
T = Is/Io.
Nilai absorbansi merupakan negatif dari log
transmitansinya.
OD [A] = - log T
Nilai A (absorbansi) atau Optical density memiliki hubungan linier dengan konstanta
(k), tebal larutan yang dilalui (b) dan konsentrasi (Suyitno, 2008). Hubungan itu dapat dinyatakan dalam persamaan
berikut :
A
= k. b. c
Pada percobaan ini hanya akan dilakukan kuantifikasi
sel menggunakan spektrofotometer saja, sedangkan hemasitometer tidak dilakukan
dalam percobaan kali ini. Prinsip kerja dari spektrofotometer adalah apabila
ada sebuah berkas cahaya akan jatuh pada suatu medium homogen, sebagian sinar
yang masuk akan dipantulkan dengan sudut yang berbeda-beda, ada sebagian lagi
yang diserap oleh medium yang dilalui oleh berkas cahaya itu dan sisanya akan
diteruskan. Nilai yang diperoleh adalah nilai tidak diserap maupun yang tidak
dipantulkan oleh medium, dan selanjutnya dinamakan nilai absorbansi atau
Optical Density (OD). Hukum Beer menyatakan bahwa absorbansi cahaya pada
spektrofotometer berbanding lurus dengan konsentrasi dan ketebalan bahan atau
medium. Dengan hukum Beer itu dapat disimpulkan bahwa nilai OD yang terukur
sebanding dengan jumlah sel yang ada dalam kultur yang diujikan dalam
spektrofotometer. (Fujimura, et al, 1979)
Dalam percobaan kali ini dilakukan perhitungan
serapan maksimum setiap pigmen warna yang ada pada bagian tumbuhan atau sampel.
Pada mulanya, senyawa-senyawa pigmen tersebut diekstraksi dengan menggunakan
methanol untuk mendapatkan jumlah ekstrak yang optimal dan kemudian dianalisis
pada panjang gelombang 660 nm yang merupakan panjang gelombang cahaya tampak
pada spektrofotometer.
Pada grafik absorbansi gelombang cahaya dengan
panjang gelombang antara 400 nm - 700 nm didapatkan bahwa terdapat perbedaan
nilai serapan antar pigmen warna. Pada ekstrak daun yang mengandung pigmen
hijau, puncak grafik terdapat pada panjang gelombang 475 nm dan puncak kedua
pada panjang gelombang sekitar 612.5 nm.
Warna hijau pada daun ini disebabkan adanya
klorofil A. Klorofil A memiliki serapan maksimum di daerah 380-430 nm dan
530-665 nm dalam pelarut organik (Christiana et. al., 2008). Dari data tersebut
dapat disimpulkan bahwa nilai yang didapat dari absorbansi pigmen hijau dari
percobaan sesuai dengan nilai referensi. Serapan klorofil A yang cukup luas
jangkauannya membuat molekul ini cenderung tidak stabil terhadap cahaya atau
mudah mengalami fotodegradasi.
Klorofil adalah kelompok pigmen fotosintesis
yang terdapat dalam tumbuhan, menyerap cahaya merah, biru dan ungu, sehingga
sinarnya tidak tampak oleh mata manusia. Pigmen ini juga merefleksikan cahaya
hijau yang menyebabkan tumbuhan memperoleh ciri warnanya (Christiana et. al.,
2008). Karakteristik ini berlaku untuk semua warna sehingga warna cahaya yang
dipantulkan akan tampak oleh mata manusia seperti warna hijau ini.
Pada ekstrak bunga ungu, puncak grafik
terdapat pada panjang gelombang 525 nm. Menurut literatur yang didapatkan,
nilai absorbansi maksimum warna ungu terdapat pada panjang gelombang 543 nm.
Warna ungu ini disebabkan adanya pigmen Delpinidin, dan Antosianin dalam bunga
(Herlina et. al., 2012). Nilai tersebut agak berbeda jauh dari nilai percobaan
yang telah dilakukan.
Sedangkan untuk bunga merah, puncak grafik
terdapat pada panjang gelombang sekitar 425 nm. Menurut literatur yang
didapatkan, nilai absorbansi maksimum warna merah terdapat pada panjang
gelombang antara 496 nm sampai 525 nm (Herlina et. al., 2012). Dari percobaan
didapatkan nilai absorbansi yang jauh dari nilai literatur yang didapat, hal
ini dimungkinkan karena terdapat adanya metabolit-metabolit penggangu yang ikut
terekstrak saat percobaan yang mampu ikut mengabsorbsi cahaya yang dihasilkan
dari spektrofotometer. Selain itu, hal ini juga dipengaruhi oleh pemilihan
spesies tumbuhan yang akan diekstrak. Perbedaan warna yang sedikit dapat
memengaruhi nilai panjang gelombang absorbansi maksimum (Herlina et. al.,
2012).
Warna merah ini disebabkan adanya pigmen
Antosianin, Sianidin, 3-Glukosida dan Pelargonidin 3,7-Diglukosida dalam bunga.
Selain itu pigmen Antosianin ini menimbulkan warna merah jambu, merah marak,
merah, merah senduduk, ungu, dan biru pada kelopak bunga, daun, dan buah
tumbuhan tingkat tinggi.
Pada grafik, ekstrak bunga yang berpigmen
kuning memiliki puncak grafik pada panjang gelombang 450 nm. Sedangkan dari
literatur yang didapat panjang gelombang maksimum dari warna kuning itu adalah
449,6 nm. Dengan hasil percobaan tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada
perbedaan yang jauh dari panjang gelombang yang didapatkan dari percobaan dan
literatur.
Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan
bahwa setiap warna atau setiap zat pigmen memiliki panjang gelombang penyerapan
efektifnya sendiri. Dengan perbedaan warna yang sedikit akan memengaruhi
panjang gelombang serapan efektifnya.
Pada percobaan kali ini juga dilakukan
pendekatan untuk menghitung jumlah sel bakteri Bacillus sphaericus dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 660 nm. Pada panjang gelombang
tersebut, dapat teramati nilai absorbansi berbeda untuk setiap konsentrasi
sampel. Serial dilution atau pengenceran berseri dilakukan agar didapatkan
konsentrasi berbeda dari sampel bakteri, sehingga didapatkan nilai absorbansi
berbeda pula dari analisis menggunakan spektrofotometer. Dengan nilai
absorbansi yang berbeda tersebut, kurva baku dapat dibuat, untuk kemudian
dicari persamaan kurva bakunya. Persamaan kurva baku tersebut selanjutnya dapat
dijadikan sebagai formulasi untuk menentukan konsentrasi bakteri yang tidak
diketahui. Pada perhitungan jumlah sel bakteri tidak dilakukan pada
hemasitometer, hal ini dikarenakan sel bakteri berukuran sangat kecil.
Dari data yang didapat, terdapat beberapa data
yang tidak sesuai, yaitu nilai absorbansi suatu sampel lebih rendah dari sampel
lainnya yang memiliki konsentrasi yang lebih rendah. Seharusnya, nilai
absorbansi sebanding dengan jumlah konsentrasi sampel, semakin tinggi nilai
konsentrasi sampel, semakin tinggi pula nilai serapan atau absorbansinya.
Kesalahan tersebut bisa terjadi akibat
berbagai faktor, salah satunya adalah faktor nonhomogenitas koloni bakteri
dalam sampel. Bakteri Bacillus sphaericus memiliki sifat mudah menempel satu
sama lain, karena sifatnya tersebut seringkali bakteri tersebut dipakai sebagai
agen biologis pada proses flokulasi dan mengendap di bagian bawah kuvet. Seharusnya
sebelum dilakukan pengamatan dilakukan homogenisasi terlebih dahulu dan
pengerjaannya seharusnya dilakukan secara cepat mengingat bakteri cepat
membentuk flok dalam waktu yang singkat.
Sel bakteri yang dianalisis memiliki umur
selama 12 jam. Data diambil dengan memasukkan nilai absorbansi ke kurva baku dari
data yang didapat kemudian dirata-ratakan dan menghasilkan jumlah sel Bacillus
sphaericus setelah 12 jam sebanyak 3,464,568,705 bakteri. Menurut literatur,
Jumlah bakteri setelah berumur 12 jam yaitu 687,194,767,360 (Keiser).
Dari data tersebut memiliki perbedaan yang
cukup jauh. hal ini dimungkinkan karena medium yang digunakan untuk mengkultur
bakteri kekurangan nutrisi ataupun kondisi lingkungan bakteri yang kurang baik,
sehingga bakteri tidak mampu berkembangbiak dengan baik.
KCKT merupakan instrumen kromatografi kolom
yang dilengkapi dengan detector. Dengan alat ini nantinya didapatkan data
retention time. Retention time bagi tiap senyawa dalam sampel akan
berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh sifat polaritas senyawa sampel dengan
eluen maupun fasa diam. Apabila polaritas senyawa pada sampel mendekati sifat
polaritas pada eluen, maka senyawa tersebut akan lebih mudah terpisah dari
senyawa lainnya dan ikut bergerak ke arah bawah bersama fasa gerak atau eluen,
melewati fasa diam.
Rentang retention time yang didapat bernilai antara
3.44 hingga 3.46. Semakin rendah konsentrasi sampel, nilai retention time
semakin tinggi. Hal ini menyebabkan senyawa menjadi lebih sulit dipisahkan dari
senyawa lain, jika kadar dalam sampel tersebut tidak cukup banyak.
Retention time merupakan waktu yang diperlukan
bagi senyawa untuk terpisah dari senyawa lainnya dalam suatu sampel. Suatu
senyawa dalam kromatografi kolom, khususnya KCKT akan terpisah dari senyawa
lainnya berdasarkan prinsip kepolaran. Kepolaran disini akan memengaruhi
interaksi molekul dari eluen, fasa diam dan senyawa sampel.
Nilai retention time yang dihasilkan dari
pengamatan menggunakan 2 detektor berbeda memiliki perbedaan. Dengan RID
rentang retention time yang dihasilkan adalah 3.44 hingga 3.46, sedangkan
dengan UV-Vis Detector rentang retention time nya adalah 3.31 hingga 3.36.
RID merupakan detektor yang biasa dipakai
untuk menganalisis senyawa yang tidak memiliki kromofor, namun memiliki tingkat
sensitivitas yang rendah dibandingkan dengan UV-Vis D yakni 100 ng. Sedangkan
UV-Vis D lebih sering digunakan karena memiliki sensitivitas cukup baik yakni 1
ng dan cara kerjanya lebih sederhana.
Berdasarkan hal sensitivitas detektor tersebut
nilai retention time yang didapat dari RID dan UV-Vis D berbeda, dengan
analisis UV-Vis D memiliki retention time yang lebih cepat 0.1 detik daripada
RID.
Luas area yang didapat dari grafik menyatakan
kuantitas dari suatu senyawa yakni merupakan pencerminan dari jumlah
konsentrasi senyawa yang dianalisis. Umumnya, bentuk area grafik merupakan
suatu kurva berpuncak, yang luas area di bawahnya dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan matematis untuk mencari luas segitiga. Grafik yang baik adalah grafik
yang memuat kurva dengan 1 puncak. Luas segitiga area di bawah kurva tersebut
merepresentasikan konsentrasi senyawa yang dianalisis. Semakin besar luas area,
maka semakin banyak jumlah senyawa tersebut pada sampel, sehingga
konsentrasinya juga semakin besar.
Data pengamatan yang didapat dari percobaan
KCKT dimasukkan ke dalam plot konsentrasi terhadap luas area, maka akan
didapatkan kurva yang kemudian dapat dicari persamaan regresinya. Dari
persamaan regresi tersebut dapat dicari konsentrasi sampel yang telah diketahui
luas areanya. Dimana menghasilkan nilai konsentrasi untuk sampel A 19.85580501
ppm, sampel B 49.01634577 ppm, sampel C 54.17146918 ppm, dan sampel D 93.33152944
ppm.
Pada analisis menggunakan KCKT digunakan
methanol 100% sebagai eluen. Hal ini
dilakukan agar interaksi yang terjadi antar molekul berlangsung baik. Hal utama
yang memengaruhi yaitu tingkat kepolaran antar sampel, eluen dan fasa diam.
Pada percobaan digunakan fasa diam berupa octadesyl
sylil (ODS) dimana fasa gerak yang dapat dipakai antara lain methanol/air
maupun asetonitril/air (Rohman, 2007).
0 komentar:
Posting Komentar