Sehabis salat tarawih di mushola pondok lantai dua, kami Abah untuk
memperbanyak amalan membaca Al Quran di bulan Ramadhan. Apalagi pahala yang
diberikan berlipat-lipat dibanding membaca Al Quran pada bulan-bulan lainnya.
Ada yang tadarus dengan suara keras, ada juga yang membacanya dengan
hati. Ada beberrapa temanku yang membaca super cepat. Biasanya mereka setelah
selesai satu jus langsung tidur-tiduran disamping kami. Mereka tidur di
pinggul-pinggul anak yang belum selesai membaca Quran sebanyak satu jus. Ada
juga yang memakai kakiku sebagai bantal tiduran-tidurannya. Aku termasuk
golongan anak yang tidak bisa membaca Quran cepat. Sering kali menjadi santri
terakhir yang selesai membaca Quran.
Saat tarawih biasanya kami saling bergonta-ganti yang bertugas menjadi
bilal salat tarawih. Aku mendapat jatah enam kali saat bulan puasa tahun ini.
Bilal tarawih bertugas untuk membacakan sholawat diantara salat tarawih satu
dengan lainnya. Dengan memakai mik kami harus melafalkan salawat kepada
Rasulullah dan para Sahabat.
Di rakaat pertama, kami harus melafal kan niat salat tarawih dengan
keras memakai mik. Salah sedikit bisa membuat marah Abah. Itu hal yang paling
kami jauhi selama berada di pondok ini.
“Ushally sunnatan tarawihy rakatainy jami’atanrrohimakumullah.
Allahuma shally ‘ala Sayyidina Muhammad (tiga kali). Wa’ala ‘ali Sayyidina
Muhammad.”
Berbeda lagi dengan rakaat kedua. Rakaat kedua dan rakaat genap lainnya
di sela-sela salat tarawih hanya memakai salawat saja.
“Allahuma shally ‘ala Sayyidina Muhammad (tiga kali). Wa’ala ‘ali
Sayyidina Muhammad.”
Untuk rakaat ketiga dan ganjil seterusnya, kami memakai nama empat nama
khalifah.
“Alkhalifatul ‘Ula (kalau nomor satu, Tsani untuk dua dan seterusnya
sampai empat) amirul mu’minina sayyidina Aby Bakrinishshiddiq (kalau nomor
satu, selanjutnya urut berdasarkan urutan khalifah yang empat).”
Kami sering tertukar mengucapkan pasangan urutan. Seperti khalifah Umar
di nomor empat, Abu bakar di urutan kedua. Atau bahkan kelewatan. Hal inilah
yang membingungkan seluruh jam’iyah salat tarawih yang ada di mushala pondok
yang kebanyakan ibu-ibu pengajian yang jumlahnya lebih dari lima puluh orang.
Kami dimarahi karena mungkin saja membuat malu Abah sebagai pembina kami.
Dan yang paling ditunggu-tunggu dari salat sunnah yang terdiri dari dua
puluh tiga rakaat (dua puluh rakaat tarawih, tiga rakaat witir) ini yaitu
ketika bilal mengumandangkan, “Akhiruttarawihy jamiatarrahimakumullah”.
Terus dilanjutkan salawat oleh bilal yang menandakan ini adalah salat tarawih
terakhir di hari ini.
Selain itu, ada juga petugas yang cukup menguji hafalan kami di depan
jam’iyah pondok pesantren yang kebanyakan berisi ibu-ibu yaitu pemimpin doa.
Doanya ada dua kali. Sehabis salat witir rakaat ke dua puluh yang doanya sangat
panjang sekali yang membuat kami biasanya gratul-gratul. Atau bahkan blank di
tengah-tengah membaca doa. Hingga krik krik beberapa detik hingga ada teman
sebelah kami ataupun abah sendiri yang membantu mengembalikan hafalan kami yang
hilang begitu saja. Walaupun sebenarnya kami sudah berlatih sungguh-sungguh,
kegugupan menghilangkan segala hafalan yang telah lancar betul.
Posisi terakhir sebagai trio duet di bulan ramadhan yaitu backing
vocal. Tugas dari backing vocal yaitu mengulangi dengan keras suara takbir saat
salat tarawih dari Abah. Hal ini dikarenakan agar Abah tidak perlu takbir
keras-keras agar jamaah yang berjumlah lebih dari lima puluh orang ini bisa
mendengar takbir untuk setiap gerakan-gerakan salat. Yang dibaca hanya dua buah
saja, kalau tidak “Allahu Akbar”, ya “Rabbana walakalham.”
Yang selalu membuatku was-was adalah ketika menjadi petugas ramadhan
bagian bilal ataupun pemimpin doa. Tubuhku terasa gemetar dan jantungku
berdetak sekencang-kencangnya, aku setiap sebelum ashar selalu tersibukkan
untuk mengulang-ulang apa yang akan aku baca saat menjadi bilal nanti malam. Tanpa
teks. Sehabis maghrib kecepatan detak jantungku mulai meningkat lebih cepat dan
keringatpun keluar dari kulit bercucuran.
Saat tiba salat isya dan kemudian salat tarawih, inilah tempat
pembuktian kami. Pembuktian usaha kami. Kalau saat bertugas gagal, maka
usahanya kurang maksimal. Kami disuruh percaya diri, lancar, bacaanya jelas,
yang pasti tidak boleh sampai lupa apa yang seharusnya di baca. Para jamaah tarawih
menjadi momok menakutkan tersendiri bagi kami para santri.
Aku sadar, pondok ini mengajarkan
kami untuk hidup bermasyarakat. Kami dilatih untuk berbicara di depan
umum. Berani mengemban amanah dari masyarakat. Para santri juga diajarkan agar
lebih percaya diri saat berbicara didepan orang banyak. Kami harus mempersiapkan
sebaik-baiknya jika kami diberi amanah oleh seseorang maupun dari masyarakat
sekitar. Pondok ini mengajarkan kami bagaimana nanti kami akan terjun di dunia
masyarakat.
Habis tadarus Al Quran setelah salat witir merupakan waktu paling
senggang dan tidak ada kegiatana pondok lagi. inilah waktu santai dan
beristirahat untuk para santri setelah panas-panasan menjadi trio duet nan
mengurah tenaga dan membuat jantung bekerja keras.
Dari tangga pondok, gus pondok yang merupakan putra Abah tiba-tiba
muncul dan mendatangi para santri-santri pondok termasuk aku yang sedang
bersenda gurau di mushala pondok lantai dua. Berjalan bak top model tahun
delapan puluhan. Rambutnya panjang lurus. Tubuhnya agak pendek. Sarungnya
kedodoran. Kopyahnya seperti ingin jatuh ke belakang. Berkaos dengan gambar
kepala anak punk yang rambutnya seperti gerigi gergaji. Hidungnya pesek seperti
habis ditonjok berkali-kali.
Dengan santainya gus pondok duduk di antara kami dan mengutaraan ide
gilanya. Dia mempunyai ide yang berbau jahil disaat kami sedang
bersantai-santai. Kami diajak untuk menjahili para santri perempuan pondok
sebelah. Pondok mereka tidak jauh dari pondok kami. Hanya beberapa meter saja
dari pondok kami. Dan paling uniknya, kami menjahili santriwati pondok sebelah lewat
lantai tiga pondok kami. Dan aku adalah orang yang pertama kali menyetujui ide
gila ini, melempari pondok sebelah dengan petasan. Sepertinya perang dunia
ketiga akan segera dimulai.
0 komentar:
Posting Komentar