Masjid begitu sesak. Penuh dengan
anak-anak bersarung dan berkerudung. Aku tak menyangka kini aku benar-benar
mondok. Kopyah, baju koko, sarung sudah aku pakai dan yang paling penting
adalah kitab kuning yang dari tadi aku jinjing di tangan. Semua santri wajib
mengikuti pembacaan kitab kuning oleh kyai di masjid pondok.
Masjid ini serasa sempit saat tujuh
puluh orang santri dan santriwati mengikuti ngaji kitab di dalam masjid.
Berwarna-warni warna sarung menghiasi lantai masjid.
Ini adalah hari pertama kalinya ngaji
kitab di pondok ini setelah aku menjadi santri baru. Masjid ini bertingkat dua.
Kami mengaji di lantai satu. Di kiri kanan ada dinding-dinding masjid yang
bertuliskan sembilan puluh sembilan nama Allah. Tulisan kaligrafi nan elok
berjajar dan menyambung tiada putusnya.
Santri putra berada di masjid bagian
kanan sedangkan santri putri berada di sebelah kiri. Kami di hari pertama ini
masih malu-malu. Dan mungkin saja hari ini adalah hari menyusun setrategi
kebrutalan di hari kedua besok.
Selalu ada tegangan tinggi jika
seorang laki-laki didekatkan dengan seorang anak perempuan. Apalagi ini tidak
hanya berdua saja, tapi bertujuh puluh santri-santriwati. Dapat dibayangkan
berapa volt lebih besar daya yang dihasilkan besok lusa atau kapanpun. Atau
malah tidak ada yang berani untuk melakukan kebrutalan. Yang ada hanya suasana
pondok yang adem ayem.
Suara merdu dari salah satu kyai pondok yang mengisi pembacaan kitab kuning
kali ini
membuat sebagian dari kami tidur dengan pulasnya. Kyai itu berkumis lebat yang sudah putih.
Memakia sebuah kopyah putih di atas kepalanya. Memakai baju koko putih dan
bersarung kotak-kotak berwarna hitam-hijau.
Masak anak muda ngantuk, sudah bukan
zamannya lagi. Aku sebenarnya sangat ngantuk, apalagi tulisan arab gundul dari
kitab kuningnya yang tidak begitu jelas dilihat. Banyak huruf-huruf yang
cetakannya tidak jelas yang mendukung aku untuk merasakan rasa kantuk yang
mendalam. Apalagi spasi antar kalimat-kalimat bertuliskan arab gundul juga
kecil, sehingga aku harus memaknai miring dengan kesusahan. Tulisan bahasa jawa
memakai huruf hijaiyah aku hias di sela-sela tulisan-tulisan bahasa arab yang
masih kosong. Space yang sangat kecil. Susahnya minta ampun apabila tidak mampu
menulis kecil sekecil semut.
Memaknai kitab kuning adalah petaka
bagi semua orang yang tidak bisa menulis kecil-kecil. Ada saja sebagian dari
santri yang hanya mendengarkan suara kyai namun tidak mencatatnya di kitab
kuning. Yang paling parah adalah mereka yang tidur, sudah tidak mencatat juga
tidak mendengarkan.
Mungkin diantara teman-teman lain,
akulah tulisannya paling kecil. Entah mengapa, tetapi paling tidak aku sudah 6
tahun memaknai miring apalagi di kitab kuning. Bisa dibilang sudah teruji untuk
menulis kecil-kecil sebesar semut. Bahkan bisa lebih kecil dari itu. Naluriku
mengizinkan untuk menulis kecil. Kitab kuning adalah karya-karya ulama kuno
yang masih relevan sampai sekarang. Kitab kuning adalah karya-karya ulama
dahulu nan bersejarah. Mereka meniatkan mencari ilmu dengan keikhlasan yang
tinggi. Mereka seperti haus akan ilmu pengetahuan hingga rela berkelana ke
negara lain untuk mengobati dahaga ilmu pengetahuan itu.
Pernah aku ditegur Bapakku dan Ibuku,
saat aku menulis tulisan latin yang sangat kecil sekali. Kecilnya minta ampun
yang hampir tidak bisa dibaca oleh orang-orang yang kemampuan matanya tidak
normal lagi. Terkadang orang yang
kemampuan matanya normal aja biasanya juga kesusahan untuk melihat tulisanku.
Kalau perlu memakai kaca pembesar untuk membacanya.
Kitab kuning merupakan warisan leluhur
islam yang sangat fenomenal. Kata Abah pondok, satu kitab untuk menyusunnya itu
susah sekali. Membuat kitab kuning tidak hanya sekedar menulis begitu saja,
tetapi kadar ibadah kita juga memengaruhi dari hasil kitab kuning itu sendiri.
Baik ataupun buruknya.
Bagaimanapun usahanya seseorang untuk
membuat kitab kuning, kalau Allah tidak mengizinkan pasti tidak akan tercipta
kitab kuning yang bagus.
Teman disampingku sudah tidur pulas,
dia bernama Reno. Dia berlinangkan air ludah di sekujur pipinya. Dia tidur
dengan memegang sebuah pena dan kitab kuning masih terbuka. Reno tubuhnya sangat jangkung. Aku sebenarnya bisa dikatakan lumayan
tinggi, tapi reno lebih tinggi melebihi aku. Dia tingginya 180 cm, sedangkan
aku bertinggi 168 cm. Dia tingginya seperti para pemain sepakbola. Rambutnya
hitam dan kulitnya berwarna sawo matang.
Ada juga anak yang tidur dengan mulut
terbuka sangat lebar yang lebarnya tidak bisa diungkapkan. Tidak jarang juga
ada satu anak yang mengusilin anak-anak yang tidur saat pembacaan kitab kuning.
Memasukkan potongan kertas ke dalam mulut yang menganga besar tadi. Hingga anak
itu gelagapan dan mengacaukan pembacaan kitab kuning. Tapi hal itu tidak di
hiraukan oleh abah. Mungkin hal itu telah biasa sejak Abah mengajar para santri
sejak 19 tahun lalu menggantikan posisi Bapak Beliau yang juga pendiri pondok
ini.
Inilah awal kehidupan kami di Pondok
yang akan berlangsung 3 tahun ke depan. Aku berniat untuk terus mondok sampai
lulus madrasah aliyah nanti. Paling tidak aku bermimpi untuk menjadi kyai jika
memang sehabis lulus nanti Bapak tidak mampu menyekolahkanku ke jenjang
perkuliahan.
Sebenarnya di samping kanan kami
adalah gerombolan santri-santri putri yang juga lesehan mengikuti pembacaan
kitab kuning kali ini. Kami tidak bisa melihat wajah-wajah anak putri karena
terhalang hijab berupa sebuah papan kayu yang tingginya 1,5 meter.
Jika saja tidak ada hijab, mungkin
kami tidak akan fokus. Bisa saja kami saling curi-curi pandang kepada lawan
jenis, karena memang itulah yang disebut kodrat Tuhan yang tidak bisa
dihilangkan dan hanya bisa dicegah dengan adanya hijab. Kami hanya bisa melihat
rok-rok ataupun sarung-sarung santri putri dari bawah hijab.
Nantinya, tidak jarang ada seorang
yang melempar sebuah kertas ke salah satu kaki dari santri perempuan sehingga
fokus mereka terpecah. Keusilan kami nanti akan lebih menjadi-jadi, aku hanya
bisa tertawa dalam hati melihat santri-santri di sekitarku mengusilin santri
laki-laki lain maupun menggodain santi perempuan.
Apakah pondok memang sebebas ini untuk
melakukan sesuatu? Itulah pertanyaan yang muncul dari benakku. Mungkin aku
bertanya balik kepada diriku, selama 3 tahun kedepan apakah seenak sekarang
ataukah berat seberat apa yang aku belum tahu saat ini.
Baris demi baris aku lewati dengan
memberikan goresan tinta ditiap sela cetakan hurup hijaiyah tanpa harokat.
Tulisan arab gundul. Akhirnya berakhirlah jam mengaji setelah genap dua halaman
kitab kuning. Disebut kitab kuning karena memang kertas yang digunakan adalah
kertas berwarna kuning. Aku sampai saat ini belum tahu mengapa kertas yang
digunakan berwarna kuning aneh, lagi pula tulisannya kecil-kecil tanpa harokat
yang membuat kami, para santri-santriwati, kesulitan untuk memaknai miring
dengan bahasa jawa dalam huruf hijaiyah.
Di akhir kami mengaji, kami diberi
pesan oleh Abah.
“Santri-santri pondok baru, pesan abah
untuk kalian semua. Carilah ilmu sebanyak mungkin di pondok ini. Istiqomahkan
niat kalian untuk terus mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Begitu juga amalkanlah
semua ilmu yang kalian dapatkan sekarang ke semua orang di sekitar kalian.
Jangan menunggu setelah lulus baru kalian amalkan, tetapi amalkanlah sejak
sekarang. Berat-ringannya selama mondok disini tergantung pada niat kalian.
Seberat apapun saat mondok, tetap akan ada kemudahan diantara itu. Istiqomahlah
dalam mengaji, walaupun kamu datang ke masjid ini lalu tidur. Insyaallah jika
niatmu tulus untuk menuntut ilmu pasti tidurmu tadi dihitung sebagai amalan
untuk menolongmu di hari kiamat kelak.”
Mengaji di malam ini telah usai, semua
santri putra dan putri bergegas untuk kembali ke pondok masing-masing kecuali
santri putra pondok depan yang memang masjid ini berada di halaman pondok
mereka. Wajah-wajah yang kuyu ingin cepat tidur menghiasi kami semua.
Sarung-sarung para santri seperti ingin lepas dari tempatnya. Kopyah hitam
maupun putih sudah mulai condong ke kiri maupun kanan seperti menara pisa di
negara italia. Kerudung para santriwati sudah tidak serapi saat berangkat.
Sandal-sandal begitu berserakan di
bawah pintu masjid bagian kanan masjid. Disana ada tujuh puluh pasang sandal
yang membentuk setengah lingkaran dengan lantai serambi masjid ini sebagai
garis tengahnya. Warna-warninya sandal ini seperti mimpi kami, mimpi anak
pondok yang mencari ilmu agama di pondok ini. Bermacam-macam cita-cita nantinya
lahir dari pondok ini. Berbagai impian nantinya akan terwujud disini, pondok
pesantren salaf.
Dalam keadaan mengantuk, ternyata
masih ada kesempatan untuk mencuri-curi kesempatan melihat wajah-wajah di balik
kerudung anak-anak santriwati yang dari tadi terhalang oleh hijab kayu. Dari
dalam kaca masjid ada sebagian yang mengintip untuk melihat wajah-wajah cantik
dari santri putri. Bersembunyi bak siput yang malu-malu saat disentuh. Mencari
kesempatan langka bisa melihat wajah santri putri secara langsung. Mata kami
langsung mentereng sesaat setelah melihat wajah-wajah cantik santri putri.
Ada juga sebagian yang masih
bercakap-cakap di dalam masjid. Selain
itu ada juga yang mulai mengusilin santri-santri putri yang berjalan balik ke
pondok putri dengan memanggil-manggil nama mereka.
Namun dari semua itu terlihat
wajah-wajah cuek santri putri dan sebagian lagi tertawa-tawa kecil mendengar
godaan dari santri putra yang dari tadi terus memanggil-manggil tanpa merasa
malu.
“Plakkkkkkk.” Suara jidatku ditampar
dengan sebuah telapak tangan yang datang tiba-tiba.
“Hayooo, merperhatikan siapa itu!”
canda reno dengan logat memaksa agar aku memberitahunya.
“Ndak kok, Cuma iseng-iseng aja lihat
santri putri.” Aku hanya bisa nyegir. Untung tidak sampai ketahuan Reno. Masak
baru pertama kali lihat anak perempuan sudah ketahuan?
“Awas ya kalau ketahuan.” Reno
menggunakan nada yang agak menyebalkan. Tidak enak didengar.
Para santri putri yang berkerudung
sudah mulai habis, tidak jarang mereka membalas dengan mencuri pandang
santri-santri putra yang ada di dalam masjid.
pos terjadwal selanjutnya
BalasHapus5 AGUSTUS petasan ramadhan ke 1
10 Agsts petasan Ramadhan ke 2
Bercerita pengalaman di pondok dulu saat ngerjain santri putri pondok sebelah :)
woalah tole2, lha kok ternyata km juga bs badung *geleng2 sambil senyum
BalasHapus