Aku menengok ke kiri
ke kanan dengan sangat berhati-hati. Berharap tidak diketahui siapapun. Terkadang
wajahku tetap menghadap ke depan, tetapi mataku menghadap ke samping. Alias
melirik. Ini adalah salah satu soft skillku dalam mencontek. Aku harus
lolos dari pengawasan oleh pengawas.
Aku menengok ke
kanan. Teman disampingku ikut membalas menghadap ke kiri, tepatnya ke wajahku.
Temanku ini berwanama Wildan. Wajahnya agak berbentuk persegi empat. Kulitnya
hitam tidak cocok kalau memakai baju putih khas anak SMP. Mukanya seperti
gundukan tanah yang ada di lembah-lembah tidak beraturan sana-sini. Tapi yang
perlu dikagumi adalah kecerdasannya. Dia sejak sekolah 1 SD selalu peringkat 1
di kelasnya, ceritanya dulu saat masih pertama kali bertemu. Sekarang dia tidak
bisa tergeser dari peringkat 3 besar di kelas. Rambutnya berwarna hitam lusuh
tanda dia malas untuk memakai sampoo. Rambutnya ikal tak beraturan arahnya
membuat dia berbeda dari yang lain di kelas. Giginya juga nampak berwarna
kuning keemasan 23,5 karat saat dia tersenyum lebar. Sepatunya juga sudah tidak
keruan dan hampir mirip seperti landak yang berduri sana sini. Benang-benang di
sepatu sudah tidak beraturan dan mencuat keluar sana-sini. Tali sepatunya juga
seperti habis digigit oleh tikus pemangsa tali sepatu. Tikus yang kurang makan
sehingga rela memakan tali sepatu untuk mempertahankan hidupnya. Untungnya
bukan sepatuku yang menjadi korban tikus gila itu. Tikus yang tidak bisa
membedakan antara makanan dan tali sepatu. Mungkin tikus itu menganggap tali
sepatu adalah sebuah mie aneh warna hitam yang jarang dijumpai oleh tikus.
Wildan memakai dasi
berwarna biru, termasuk juga aku dan teman-teman sesekolah. Dasi biru yang
bergambar logo smp kami yang begitu moleknya hingga orang yang memandang
terpana. Logo yang berada di dasi itu hanya
berwarna kuning tua saja. Sebenarnya logo SMP kami berwarna-warni, namun karena
percetakan logo dasinya hanya memiliki sebuah mesin yang tidak mengikuti
perkembangan zaman sehingga warnanya cuma 1 buah. Berbeda dengan mesin-mesin
zaman-zaman sekarang yang bisa mencetak logo di kain menggunakan bermacam-macam
warna.
Tanganku kiri mulai bergerak, jari telunjuk
yang tadi tidur kini aku tegakkan dan kemudian aku menegakkan lagi 3 jari
selain ibu jari dan jari kelingking. Temanku membalas dengan tiga jarinya tegak
dan selainnya tetap diam di tempatnya.
Tanganku bagian kanan
dari tadi tidak bergerak kemana-mana. Hanya berdiam memegang pensil berwarna
hitam dan diujungnya yang lain berwarna sedikit hitam. Pensil ini awalnya
berwarna biru, tapi karena sering aku pakai maka warnanya menjadi hitam. Pensil
ini telah aku lukai dengan sebuah cutter dibagian salah satu sisinya
sehingga terkelupas warna birunya yang kehitam-hitaman dan tersisa lapisan
coklat kayu. Di bagian pensil yang terkelupas aku tuliskan
‘bismillahirrohmanirrohim’ dalam bahasa arab. Dari dulu hingga sekarang aku
masih percaya dengan perbuatan tidak jelas itu, menuliskan basmalah di pensil.
Harapannya bahwa dengan aku menulis basmalah di pensilku aku akan dilancarkan
oleh Allah dalam mengerjakan Ujian Nasional
SMP saat ini.
Di bagian lain juga
ikutan aku kelupas kulit pensil yang mulai kehitam-hitaman. Bukan untuk
menuliskan nama pacar melainkan aku gunakan untuk menuliskan nama Bapak dan
Ibu. Tujuannya biar aku selalu ingat kedua orang tuaku dan semangatku naik lagi
jika semangatku mulai turun saat mengerjakan UN SMP.
Aku hanya ditemani 1
pensil di Ujian Nasional kali ini. Teman-temanku yang lain membawa
pensil-pensil baru mereka yang warnanya masih kinclong tanda baru keluar
dari toko. Mereka membawa lebih dari 1. Sedangkan aku membawa 1 pensil yang
kepalanya ada 2 buah. Di bagian atas maupun bawahnya sangat lancip. Ini adalah
setrategi brilianku agar aku tidak perlu membeli lagi sebuah pensil. Dikedua
ujung pensil ini sangat runcing. Walaupun aku hanya mempunyai satu pensil
tetapi aku mempunyai 2 ujung yang runcing sehingga aku tidak perlu meruncingkan
lagi ditengah-tengah ujian nasional jika salah satu ujungnya sudah tumpul
setelah digesek-gesekkan dengan lembar jawaban ujian nasional. Tinggal
menggunakan ujung yang lain yang masih runcing.
Pensilku kini
panjangnya hanya sepanjang jari tengah orang dewasa. Pensil ini sudah kumal
seperti rambut wildan yang tidak terurus. Pensil warisan dari kakakku yang
setahun lalu Ujian Nasional SMA.
Seharusnya pensil
yang aku bawa sudah berada di tempat sampah dan tidak digunakan lagi.
Panjangnya yang tidak seberapa dan kumalnya minta ampun membuat pensil ini
terlihat seperti ranting-ranting pohon yang telah jatuh di tanah selama 1 bulan.
Sebuah barang yang sudah tidak dihiraukan keberadaannya.
Aku menggunakan
pensil ini karena pensil ini telah mengantarkan kakakku lulus Ujian Nasional
SMA. Sehingga dapat dipastikan jika aku mengisi lembar jawaban komputer dengan
pensil ini, pasti akan terdetect jawabanku oleh komputer yang akan
mengoreksinya. Itu langkah aman pertama. Daripada aku harus membeli pensil baru
yang belum teruji di ujian nasional.
Langkah aman kedua,
semoga nilaiku Ujian Nasional SMP akan setinggi apa yang telah diraih kakak
kelasku tahun lalu saat Ujian Nasional SMA. Harapan yang mungkin saja terjadi dan tidak terjadi. Tapi
terserah, yang penting hal itu akan memotivasiku lebih kuat lagi untuk
mendapatkan nilai tinggi di ujian nasional.
Kakakku adalah
seorang perempuan yang bertubuh kurus kerempeng bak lidi yang terpisah dari
sapu lidi. Wajahnya berkulit putih dan tidak seperti kalayak orang-orang
kampung lainnya yang berkulit cokelat kehitam-hitaman karena terlalu sering
berada di sawah. Orang-orang di Kampungku kebanyakan bekerja sebagai petani. Kakakku
sering sekali memakai kacamatanya. Tampilannya simpel tidak mengikuti zaman dan
memakai kerudung. Dia hobi sekali menggulungkan lidahnya apalagi
menggerak-gerakkan kedua telinganya. Dia sangat mahir. Dia berjarak 4 tahun
lebih tua dariku.
Giginya putih dan
tertata sangat rapi seperti supporter yang sedang menonton sepakbola. Gigi gingsulnya
tidak mengurangi kerapian giginya melainkan hampir tidak ketara. Dia suka
mengeyitkan dahinya jika tidak mengerti. Semangat juangnya selama ini untuk
mencari ilmu tidak diragukan lagi. Makanan kesukaan kakakku adalah nasi pecel. Apalagi
nasi pecel buatan Ibu, dia selalu berada di antrian nomor satu jika ada lomba
makan pecel.
Seorang pria berbadan
tegap memakai baju batik berwarna merah dan bermotif burung merak terus saja
berdiri di dekat pintu. Tubuhnya sedikit menyandar ke pintu dan menghadap ke
halaman sekolah seolah mengamati sesuatu yang aku sendiri tidak tahu. Tingginya
tidak seberapa, hampir setinggi aku. Diatas mulutnya ada kumpulan rambut yang
disebut kumis. Kumis beliau bak tumpukan jerami-jerami kering yang sangat berserakan
tidak rapi sedikitpun. Apalagi bulu hidungnya yang dari tadi terus bergetar
mengikuti irama nafasnya. Sepatu beliau sangat bersih dan berkilau memantulkan
cahaya yang datang dari luar kelas yang dipantulkan dari sudut datangnya
sehingga menghasilkan sudut pantul yang sama dengan sudut datangnya di
permukaan sepatunya yang datar.
Seorang lagi adalah
seorang pengawas perempuan tua berada di atas tempat duduknya yang berada tepat
di depanku. Mejanya diberi sebuah taplak meja berwarna hijau pupus. Beliau memakai
baju berwarna oranye dengan kerudung berwarna oranye juga dan di bajunya
tertempel nametag pengawas berwarna hijau muda bertuliskan namanya yaitu Hj. Eneng
Solikhah S. Pd.. Beliau menulis di atas meja yang bertaplak itu. Matanya hanya
tertuju pada tulisan yang beliau kerjakan sekarang. Pipinya sudah tidak semulus
dulu saat masih muda. Giginya berwarna merah kehitam-hitaman walaupun aku yakin
dia baru saja menggosok giginya dengan pasta gigi. Aku yakin kalau orang tua
itu sering mengunyah daun Piper betle L. yang ada di pekarangan
rumahnya. Tumbuhan merambat yang daunnya berbentuk hati. Aku dulu saat masih
kecil suka menggunakan tumbuhan itu untuk bermain masak-masakan dengan
anak-anak perempuan kecil seusiaku yang berada di dekat rumahku. Permainan masak-masakan
yang seharusnya hanya dimainkan oleh anak perempuan bukan anak laki-laki
seperti aku. Aku dulu terpaksa karena tidak ada anak laki-laki sepantaranku
yang tinggal di sekitar rumahku. Jadi semasa kecil aku hanya bermain dengan
anak perempuan dan jarang sekali bermain dengan anak-anak laki-laki seusiaku.
Sepertinya ini adalah tanda-tanda kepunahan anak-anak laki-laki dan mulai
membeludaknya anak-anak perempuan.
Otakku sudah buntu
tidak bisa menemukan cara untuk menyelesaikan soal-soal dihadapanku. Sepertinya
ingin beristirahat sejenak, tapi itu tidak mungkin. Detik demi detik berjalan
terus dan semakin lama semakin membuat kami semua sekelas panik.
Yups, kami berada
dalam Ujian Nasional sekolah menengah pertama. Hari ini adalah hari terakhir
kami Ujian Nasional yang dilaksanakan secara bersamaan di seluruh Indonesia.
Di saat menjelang
berakhirnya waktu ujian nasional adalah waktunya berbagi jawaban dengan teman
sekitar. Aku sudah katek untuk mencari lagi dan lagi jawabannya. Solusi
terakhir yaitu saling berbagi jawaban dengan seluruh penjuru yang ada di kelas.
Semoga aja aman. Sebelum-sebelumnya tidak ada kendala sedikitpun karena
pengawasnya agak cuek.
Aku melempar sebuah
gumpalan kertas. Kertas yang dari tadi bersembunyi dalam saku bajuku. Kertas
yang dari tadi hanya diam saja hingga menunggu perintah dariku untuk beraksi
menembus ruang dan waktu. Kertas yang sebelumnya sangat rapi dan kini berubah
menjadi kumal akibat diberi gaya sehingga bentuknya menjadi mirip peluru dari
sebuah meriam. Bulat tidak beraturan.
Lemparanku salah arah
akibat tertiup oleh angin yang masuk sepoi-sepoi ke dalam ruangan kelas. Selain
itu, angin yang bertiup sepoi-sepoi tadi membuat aku mulai mengantuk.
Masalah belum
selesai. Lemparanku ke arah Wildan jatuh di depan sepatu pengawas ujian
laki-laki. Beliau tidak melihat sama sekali siapa yang melempar. Beliau hanya
tahu bahwa ada segumpal kertas mencurigakan yang berada di depan sepatunya.
Wajahnya yang
sesekali mengawasi anak-anak yang duduk di bagian belakang membuatnya tidak
tahu apakah ini kertas contekan ataupun kertas biasa yang digulung-gulung tidak
beraturan yang terlewat dari petugas kebersihan kelas sebelum pelaksanaan ujian
nasional.
Tapi di luar dugaan,
hal itu membuat jantungku berdetak cepat. Karena pengawas laki-laki yang di
bajunya tertempel nametag pengawas berwarna hijau muda bertuliskan Suparjo Mardhakaihan
S. Pd. memungut kertas yang aku lempar tadi. Aku takut aku ketahuan telah
melakukan kecurangan. Takut aku ketahuan bekerjasama dengan orang lain saat
Ujian Nasional. Kemungkinan yang terkena dakwaan salin bantu-membantu bukan aku
saja, tapi banyak anak.
“Kertas milik siapa
ini?” tanya pengawas laki-laki yang tadi memungut kertas yang aku lemparkan tadi.
Kelas serasa sunyi.
Seperti keadaan dimana berada dalam pemakaman pada pukul 12 malam. Semua
anggota kelas ini hanya bisa menutup mulutnya rapat-rapat. Tidak ada yang
berani bergerak sedikitpun.
Kami sekarang seperti patung. Semua berhenti
mengerjakan, tanpa terkecuali. Semua orang terlihat berlagak tidak mendengar
suara dari pertanyaan pengawas. Aku dari tadi tidak mengedipkan mataku setelah
mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh pengawas bernama Suparjo itu. Begitu
juga teman-teman yang lain. Sesekali ada anak yang mengedip-ngedipkan matanya
karena tidak kuat untuk terus membuka matanya tanpa berkedip. Sungguh kelas ini
sunyi senyap. Ruang kelas berwarna kuning ke putih-putihan ini adalah sebagian
dari saksi mata yang melihatku melempar kertas kecil yang berbentuk bulat
seperti peluru meriam itu. Untungnya ruang kelas ini tidak bisa bicara,
andaikan saja bisa berbicara dia akan melaporkannya langsung kepada kedua
pengawas yang dari tadi berada di ruangan ini.
Pengawas laki-laki
itu seakan menampakkan wajah marahnya akibat tidak ada satupun anak yang
menjawab pertanyaannya. Pertanyaannya seakan hanyalah angin yang berlalu lalang
dan pergi dengan sendirinya tanpa ada seorangpun yang memperdulikan.
Aku sebagai tersangka
utamnya hanya bisa pasrah dan berharap pengawas laki-laki itu segera melupakan
masalah itu ataupun berharap beliau tiba-tiba lupa ingatan akan hal itu biar aku
selamat dunia dan akhirat, tidak ketahuan.
“Ini miliknya siapa?
Sekali lagi saya bertanya.”
Suara ngebass dan
besar dari pengawas laki-laki tadi membuat kami semakin takut dan suasana
semakin mencekam.
Aku merasa semakin
terpojok secara mental. Walaupun jelas-jelas hanya aku dan Wildan saja yang
tahu soal kertas itu. Tidak ada yang lain. Aku bingung. Antara mengaku yang
artinya aku sama aja bunuh diri di depan teman-teman seruangan atau hanya diam
saja menunggu langkah selanjutnya yang dilakukan oleh pegawas laki-laki itu.
Tetap saja tidak ada
yang berani menjawab pertanyaan dari pengawas laki-laki itu setelah 15 detik
Beliau mengucapkan hurup terakhir dari kalimatnya tadi.
“Jika ini terbukti
adalah kertas contekan salah satu dari kalian maka konsekuensinya akan diterima
oleh kalian seruangan ini. Akan saya laporkan ke pihak sekolah bahwa di ruangan
ini kalian telah melakukan kecurangan namun tidak ada yang mengaku.”
Wildan menghadap ke
arahku. Dia menggerak-gerakkan matanya yang kurang lebih intinya dia menyeruhku
untuk mengaku agar hanya aku yang kena hukuman.
Itu sesuatu hal yang
bodoh jika benar-benar aku kerjakan. Aku bisa saja langsung divonis tidak
lulus. Ketakutan yang tidak berujung. Aku yakin bahwa Wildan juga takut dia
ikut tidak lulus gara-gara lemparan kertasku yang tidak sesuai harapan.
Aku tetap keukeuh
dalam pendirianku. Aku harus tetap lulus. Aku tidak boleh gegabah dalam situasi
ini. Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan hanyalah diam tanpa sepatah kata
apapun. Tidak memperdulikan gerak mata wildan yang semakin lama serasa dia
mengancamku untuk segera mengaku. Bahkan matanya hingga terlihat akan keluar
dari tempatnya karena dia melotot kepadaku. Tidak bisa dibayangkan kalau
matanya sampai copot dari tempatnya dan menggelinding di lantai kelas
yang sekarang sedang berada pada puncak ketegangan.
“Kalau tidak juga ada
yang mengaku, kertas ini akan saya buka dan semisal terbukti ada kunci jawaban
ataupun tulisan-tulisan yang mencurigakan maka kalian sekelas akan tidak lulus
karena telah bersekongkol dalam hal kecurangan dalam Ujian Nasional.”
Wajah-wajah temanku
seruangan semakin tidak keruan. Semuanya terlihat dihantui bayang-bayang
ketidaklulusan di Ujian Nasional SMP.
Dengan gerakan cepat
pengawas perempuan itu membuka dan meluruskan seluruh bagian kertas kumal
berbentuk bola tidak sempurna itu. Detik demi detik begitu sangat kerasa.
Setiap gerakan dari pengawas laki-laki itu terekam jelas melalui mata kami.
Setiap gerakannya selalu kita pantau, kami was-was jika benar-benar dilaporkan.
Ternyata kertas itu
kosong. Kertas yang tidak ada sedikitpun bekas tinta bolpoinnya. Aku teringat
bahwa aku tadi lupa belum menuliskan nomor-nomor soal ke dalam kertas kumal itu
untuk meminta jawaban dari Wildan.
Pengawas laki-laki
tadi tidak jadi melaporkan kami. Untunglah, kesalahan fatal yang membuat kami
seruangan deg-degan. Akulah satu-satunya orang yang merasa paling bersalah dari
kejadian tadi. Akupun meneruskan untuk mengerjakan soal-soal Ujian Nasional
yang berada di hadapanku sekarang.
Waktu semakin lama
semakin habis. Waktu seakan menjadi liar dan siap memangsa siapapun yang tidak
pandai mengatur waktu. Kini tinggal 10 menit lagi. 10 menit sangat krusial. Masa
depan adalah taruhannya.
Waktu berputar
semakin cepat. Secepat larinya hewan cheetah yang mengejar mangsanya karena
sudah kelaparan 10 hari.
Pintu kelas masih
terbuka menghembuskan angin segar disela-sela panasnya otak yang mulai
mendidih. Lantai yang biasanya kotor, akhir-akhir bersih dan memantulkan cahaya
dari luar ruangan dengan baik. Tidak terlihat sedikitpun adanya kertas-kertas
sobekan maupun debu-debu.
Meja dan kursi
tertata rapi, lurus dan tidak ada cacat sedikitpun. Minggu lalu telah
dibersihkan oleh adik-adik kelas saat bersih-bersih sekolah. Dan di setiap hari
H Ujian Nasional selalu dicek ataupun dibersihkan lagi oleh petugas kebersihan
sekolah. Di ruangan ini setiap satu meja hanya ada satu kursi duduk. Di
belakang kami semua ada tumpukan sisa-sisa kursi yang tidak dipakai saat Ujian
Nasional. Sebelum pelaksanaan Ujian Nasional, setiap satu meja mempunyai 2 buah
kursi sehingga kini sisa kursi yang tidak dipakai ditepikan.
Jurus terakhir
sebelum kata pasrah harus aku kerahkan. Tidak ada waktu lagi untuk berpikir
keras mencari jawaban lagi. Hanya tersisa beberapa menit sebelum Ujian Nasional
matematika SMP berakhir. Masih ada 9 nomor lagi yang masih kosong. Tinggal 2
menit lagi waktu tersisa. Jika aku menghitung lagi satu persatu soal, itu
adalah hal yang tidak mungkin. Imposible.
Semua tahu sendiri
bahwa soal matematika tidak bisa dikerjakan secepat kilat. Kalau ketemu pun itu
pasti tidak ada di pilihan ganda. Belum lagi menggosok-gosok kertas lembar
jawaban komputer dengan pensil 2B yang juga membutuhkan cukup banyak waktu. Mau
tidak mau jurus terakhir harus segera dikeluarkan demi penuhnya lembar jawaban
ini di tiap-tiap nomornya.
Ngawur. Tidak ada yang bisa dilakukan lagi selain
mengisi tiap bulatan-bulatan di lembar jawaban dengan cara ngasal. Tidak peduli
benar ataupun salah, yang penting terisi penuh. Jurus yang diturunkan secara
turun temurun tanpa tahu siapa yang menemukan pertama kali. Jurus yang
disampaikan secara lisan demi lisan yang degan cepat merambat ke seluruh dunia.
Satu persatu bulatan
lingkarang dikertas lembar jawaban ujian aku isi. Pensil jelekku yang berwarna
biru kehitam-hitaman itu pun bergoyang bor seperti penyanyi-penyanyi dangdut.
Pensil itu bergoyang di atas panggung yang penuh dengan bulatan-bulatan kecil
yang ditengahnya berisi hurup a sampai d yang tertata rapi.
Pensil itu akhirnya
menyelesaikan goresan ke 30 yang berarti aku sudah mengisi lembar jawaban
secara penuh. 30 goresan yang berupa lingkaran ini nantinya akan menentukan
masa depanku. Goresan yang akan menjadi sebuah sejarah di masa tua nanti.
Goresan yang akan ditanyakan oleh anak maupun cucu. Yang paling penting adalah
goresan ini akan menentukan apakah aku berhak lulus atau tidak lulus.
Semua berkas
dikumpulkan ketika mendengar bel panjang tanda berakhirnya waktu pengerjaan
ujian. Baru kali ini aku merasakan tekanan yang berat sekali setelah 3 tahun
hanya diwarnai dengan ulangan harian maupun ujian semester saja. Hari ini dan 2
hari sebelumnya adalah salah satu penentu masa depan kami, anak sekolah
menengah pertama. Antara kata lulus dan tidak lulus.
Belajar selama 3 tahun
seolah ditentukan hanya 3 hari. Selama 3 hari Ujian Nasional ini baik maka 3
tahun sebelumnya dapat dikatakan baik. Dan apabila sebaliknya, maka dapat
dikatakan 3 tahun yang lalu gagal. Itulah
kenyataan yang aku rasakan saat ini. Belajarku selama 3 tahun serasa tidak akan
berguna jika aku tidak lulus ujian nasional. Seakan lulus adalah harga mati.
Tidak bisa ditawar lagi.
Aku bersyukur 3 hari
ini tidak satupun aku ketahuan bahwa aku telah mencontek. Strategiku selama ini
lancar. Aku merasa banyak terbantu oleh jawaban teman-teman lain. Sebuah
kombinasi jawabanku dengan jawaban teman-teman seruangan dan jawaban ngasal
tanpa berpikir terlebih dahulu.
Semua alat tulis aku
masukkan ke dalam tas. Pensil yang sangat berjasa untuk mengisi
lingkaran-lingkaran kecil lembar soal juga aku masukkan. Fotoku hitam putih
memakai dasi sekolah terpampang di saku sebagai tanda peserta ujian nasional
sekolah menengah pertama juga ikut aku masukkan. Kartu ini adalah tiket masuk
ruang ujian yang bila ketinggalan ataupun hilang adalah mimpi buruk bagi
pemiliknya.
Pengawas yang dari
tadi hanya bengong melihat kami seruangan kini mulai merapikan lembar-lembar
soal dan lembar-lembar jawaban ke dalam kantong dari kertas berwarna cokelat
muda yang kemudian di segel dengan sebuah stiker segel dari departemen
Pendidikan Nasional. Stiker yang dari pagi diselipkan di atas lembar-lembar
soal di dalam kantong kertas cokelat tadi.
***
Semalaman aku gelisah
tidak bisa tidur. Mataku sangat sulit untuk aku pejamkan. Seperti ada pengganjal di mataku yang terus
menghalangi untuk aku menutup mataku. Dinginnya malam menusuk sela-sela
kulitku. Kilauan bintang tidak sampai mataku, cahayanya hanya membentur atap
rumah dan hilang entah kemana. Suara jangkrik terus membahana melewati daun
telinga dan kemudian mengenai gendang telingaku dan menimbulkan efek suara yang
dicerna oleh otak. Ada sesuatu yang tetap mengganjal di hati. Besok adalah hari
pengumuman kelulusan. Apakah aku akan lulus?
Kata tidak lulus
selalu membayangiku dan teman-teman lain. Mungkin juga anak-anak se-Indonesia
juga merasakan hal yang sama. Dari sabang sampai merauke. Aku sangat takut
sekali. Takut kalau aku dinyatakan tidak lulus Ujian Nasional sekolah menengah
pertama. Hal itu mengancam masa depanku. Apalagi di zaman ini, melamar
pekerjaan tanpa ijazah sama dengan mau membuka pintu tapi tidak mempunyai
kuncinya.
Keesokan harinya
mataku merah akibat aku baru bisa tidur jam 01.00 pagi saat bintang-bintang
mulai mengantuk. Sebenarnya dari pukul 22.00 sudah berusaha memejamkan mata
tetapi tetap saja tetap tidak bisa tidur. Kasur yang empuk tidak mampu
menidurkanku. Suara sunyi malam hari menemaniku dalam penantian terpejamnya
mataku.
Jam baru menunjukkan
pukul 06.30. Sekarang adalah waktunya sarapan pagi. Aku mulai mengambil nasi
untuk sarapan pagi. Nasi putih hasil dang-dangan Ibu dihiasi oleh 3 buah
tempe goreng dan selipan sambal bawang. Sambal bawang hasil ulekan Ibu
dengan 5 buah lombok merah.
Ibu selalu bangun
lebih awal. Pukul 04.00 pagi ibu sudah bangun dan mulai menanak nasi. Itulah
kehebatan Ibuku, Beliau tidak pernah telat untuk bangun pagi. Kayu bakar
menemani Ibu di saat dinginnya udara sebelum subuh. Tempat memasak keluarga
kami hanyalah sebuah batu bata yang ditumpuk-tumpuk dan membentuk sebuah balok
dengan satu lubang untuk memasukkan kayu bakar lewat samping. Sedangkan di
atasnya ada dua buah lubang untuk tempat panci maupun tempat memasak lainnya.
Saat aku masih SD
dulu, Ibu selalu memberiku tajin. Tajin adalah minuman yang
warnanya putih. Warnanya putih seperti susu berhasil menipuku saat aku masih
kecil dahulu sehingga aku mengira bahwa itu adalah susu sapi. Rasanya asin-asin
manis membuat lidah ketagihan. Rasanya aneh, tidak bisa ditemukan disembarang
tempat. Pernah suatu hari aku tidak dibuatkan tajin oleh Ibu aku sampai
menangis seharian. Tajin hanya bisa dibuat saat menanak nasi saja. Kalau
tidak sedang menanak nasi, tidak bisa. Jika melewatkan satu kesempatan menanak
nasi maka harus menunggu esok hari saat menanak nasi selanjutnya. Sehingga aku
menangis seharian karena ingin meminum tajin yang sangat khas buatan Ibu.
Seluruh anggota keluarga
kami sangat suka dengan namanya sambal. Bapak dan akulah yang sering makan
dengan menggunakan sambal paling banyak. Kadang sampai-sampai perutku panas
akibat kebanyakan mengambil sambal di cowek. Rasanya saat di perut
seperti kebakaran. Panasnya minta ampun. Letaknya di perut membuatku tidak bisa
memadamkan apinya. Walaupun meminum air putih berkali-kali perut tetap panas
akibat biji cabe. Pada ujungnya membuat perutku mulas.
Waktu yang
ditunggu-tunggu akhirnya datang. Bapak berangkat ke sekolahku smp pukul 07.30.
Hari ini sungguh mendebarkan. Panasnya matahari pagi membuatku semakin gerah
menunggu kepulangan bapak ke rumah. Tiap detik serasa begitu lama untuk
menunggu kabar kelulusanku dari Bapak.
Aku menyerahkan semua
ini kepada Allah, Tuhan Semesta Alam. Apapun yang terjadi hari ini adalah
takdir dari Allah, sekarang yang aku bisa laksanakan adalah berdoa semoga
ilmuku yang sudah aku cari selama 3 tahun bisa barokah dan hari ini aku Lulus
dengan membawa ijazah SMP-ku. Aku sangat berharap.
Aku memandang keluar
jendela rumah. Pohon-pohon kelapa di samping rumahku melambai-lambai diterpa
angin. Bunga-bunga bougainvillea mulai terjatuh satu persatu akibat
terpaan angin. Lebah-lebah juga bersuka cita hinggap di kelopak bunga sana-sini
mengawinkan tumbuhan satu dengan tumbuhan yang lain. lebah merupakan salah satu
polinator alam. Alam ini begitu indahnya. Tidak ada satupun dedaunan yang jatuh
kecuali sepengetahuan Tuhan.
Berkali-kali aku melihat
dari balik jendela, sebuah halaman yang ditumbuhi sebuah pohon rambutan
berukuran 20 centimeter diameter batangnya. Tingginya kini 10 meter, setinggi
rumahku. Pohon rambutan itu ditanam tepat di depan rumah keluarga kami dan
telah berhasil menghasilkan ribuah buah rambutan. Pohon rambutan ini dulunya
hanya sebuah biji yang tidak begitu spesial. Biji pohon rambutan ini ditanam
langsung oleh Bapak ketika aku masih berumur 5 tahun. Aku masih ingat pada saat
itu aku sedang bermain air dengan kakak kandung perempuanku yang masih
bersekolah SD, Mbak Izza. Tumbuhan rambutan adalah tumbuhan jenis dikotil yang
buktinya selesai makan buah rambutan bijinya langsung aku kupas kulit ari dari
bijinya dan akhirnya aku memecahnya menjadi 2 bagian tanpa merusak bijinya. Dan
disaat itulah aku melihat 2 buah kotiledon yang nampak seperti angka 69 yang
bersatu membentuk biji rambutan. Selain itu, di depan rumahku tumbuh
pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi menghadap ke angkasa. Pohon kelapa
memiliki banyak jenis, tapi pohon kelapa yang ada di depan rumahku hanya ada 3
macam namun keberadaannya kini sudah tidak sebanyak dulu. Pohon kelapa jenis
pertama yang ada di depan rumahku adalah
pohon kelapa yang kulitnya berwarna kuning cerah dan bersih. Tampilannya lucu.
Buahnya kecil dibanding buah kelapa pada umumnya. Pohonnya juga tidak setinggi
pohon-pohon kelapa lainnya. Tanpa memanjatpun kita bisa memanen buah kelapa. Jenis
kedua dari pohon kelapa yang hidup di pekarangan rumah yaitu kelapa hijau,
pohonnya tinggi dan buahnya besar-besar. kulitnya hijau seperti namanya. Dan
kampung kami percaya bahwa air kelapa dari buah kelapa hijau ini dapat
menetralkan racun maupun bisa ular sehabis digigit ular. Kami selalu mencari
kelapa hijau jika saja kami keracunan maupun sehabis digigit ular. Jenis kelapa
terakhir yaitu pohon kelapa yang kulitnya berwarna oranye. Pohon kelapa ini biasanya dipake
untuk acara pernikahan dikampung kami. Namun terkadang juga menggunakan jenis kelapa
lain. Biasanya ditaruh di 2 buah gedebog pisang yang merupakan gapura
sebelum menyaksikan resepsi pernikahan.
Pohon kelapa sangat
berarti sekali bagi keluarga kami saat riyoyo kecil,lebaran kecil, lebaran
yang dicetuskan oleh para Wali songo dan biasanya juga disebut kecilan.
Lebaran yang jatuh 7 hari setelah Lebaran besar, riyoyo gedhe, hari raya
Idhul Fitri. Dinamakan lebaran kecil karena untuk memberi tahu bahwa puasa 6
hari di bulan syawal telah usai. Prosesnya hampir mirip dengan Idul Fitri
dengan puasa Ramadhannya sedangkan lebaran kecil dengan puasa syawalnya yang 6
hari. Ada lagi yang kami nanti-nanti pada riyoyo kecil itu. Kami menanti untuk
membuat sebuah ketupat. Ketupat juga merupakan peninggalan salah satu wali
songo yaitu Sunan Kalijaga di mas dulu yang masih dibudayakan di kampung kami
dan biasanya merayakannya di masjid-masjid kampung untuk memakan ketupat
bersama-sama dengan masyarakat kampung. Itulah halaman rumahku. Halaman rumah
yang penuh dengan bunga-bunga Bougainvillea glabra yang tingginya 1
meter. Disana juga ada pohon Citrus aurantifolia Swingle yang berduri di
seluruh batangnya. Aku tinggal di sebuah pedesaan yang terletak di daerah
Nganjuk yang letaknya di sebelah utara kota Kediri. Sebuah kabupaten yang
kurang begitu dikenal dan mungkin saja di peta tidak terlihat.
Aku menunggu.
Jam berputar terus
menerus tanpa henti, aku masih diam menunggu bapak yang dari tadi belum kembali
membawa hasil kelulusanku. Rasa tidak sabar dari tadi tetap menghantuiku.
Kini jam telah
menunjukkan pukul 09.17. Aku mendengar suara motor yang semakin lama semakin
keras. Sepertinya itu bapak.
Aku menengok ke luar
jendela ruang tamu. Ternyata bukan, itu hanyalah tetangga yang naik motor
melewati depan rumah. Suara motornya hampir mirip dengan suara motor bapak. Aku
sudah hafal betul suara khas motor bapak. Dari jauhpun aku sudah bisa merasakan
hembusan suaranya yang khas. Jarang-jarang ada yang menyamainya. Dan hari ini
mendengar suara knalpot yang mirip dengan suara knalpot bapak.
Aku semakin lama
semakin tak sabar. Bermenit-menit hanya habis untuk menunggu dan berkali-kali melihat
dari balik kaca ruang tamu. Kemudian Aku berdiri dan beranjak pergi dari
tempatku semula karena yang ditunggu tak kunjung datang.
Belum lama berdiri
ternyata bapak datang dengan motor tuanya, umur motor yang dipakai bapak lebih
tua 2 tahun dibanding aku. Itu bukanlah motor milik bapak, akan tetapi motor
adiknya yang tidak dibawa bekerja di jakarta.
Aku berlari keluar
rumah berharap tidak menunda lagi berita kelulusan saat dari SMP. Bapak
tersenyum dengan mengeluarkan secarik kertas dari sakunya. Aku terus mendekati
bapak dengan rasa was-was. Senyuman bapak memperlihatkan betapa kerasnya
perjuangan para petani indonesia untuk menyekolahkan anaknya. Aku belum percaya
bahwa aku lulus atau tidak lulus sebelum aku melihat hasil yang aku peroleh secara
langsung.
Semua tulisan yang
ada di kertas itu berwarna hitam. Ada satu warna berbeda di antara tulisan-tulisan
hitam. Kata LULUS berstempel ungulah yang sangat mencolok jika dipandang.
Tulisan lulus itu diberi border persegi panjang tebal mengkuhkan bahwa aku
benar-benar lulus. Aku lulus.
“Aku lulus!” teriakku
dalam hati. Aku sangat bersyukur dengan hasil ini.
Aku terus dan terus
melihat apa saja yang ada dalam kertas tersebut. Aku berharap ada informasi
lain yang bisa aku lihat dari hasil Ujian Nasional 2 bulan yang lalu.
27,07.
Total nilai yang aku
lihat dari kertas itu. Tapi aku kurang bahagia. Andai saja aku tidak mencontek
jawaban teman, apakah aku akan tetap mendapatkan nilai sebesar itu? Atau aku tetap
akan lulus seperti sekarang? Atau bahkan aku akan mengikuti ujian susulan paket
B.
Antara senang dan
sedih melihat nilai itu. Aku bingung ingin berkata apa. Ingin rasanya waktu itu
mengerjakan sendiri semua soal-soal ujian nasional dengan kepercayaan diri
tinggi. Semua itu telah berlalu, sudah menjadi sejarah hidup bahwa nilai itu
bukan hasil kerja kerasku sendiri. Aku menyesal. Disisi lain aku harus bersyukur.
Akankah aku bisa mengubah sejarah itu? Sejarah dimana aku tidak mencontek saat
Ujian Nasional. Dan aku dengan lantang meneriakkan “Aku Ujian nasional tidak
mencontek loh! Ini kerja jerasku sendiri tanpa bantuan orang lain.”
Tapi itu kapan? Aku
tidak yakin akan semudah itu untuk melaksanakannya. Apakah hanya sebuah mimpi ketika aku ingin Ujian Nasional bersih.
<bersambung>