Kamis, 09 Agustus 2012

Instrumentasi KCKT (HPLC) dan Spektrofotometer


Kuantifikasi sel merupakan perhitungan jumlah sel maupun penentuan massa sel yang ada di media kultur dalam satuan ukuran banyaknya sel per mililiter suspensi. Metode yang digunakan untuk menghitung jumlah sel dalam sebuah kultur dapat menggunakan alat spektrofotometer atau hemasitometer.
Ada beberapa macam teknik kromatografi, dari teknik yang sederhana sampai teknik modern. Teknik sederhana dapat dilakukan dengan Kromatografi Kertas (KKt) dengan menggunakan kertas Watmann 3. Kromatografi yang lebih maju dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT), yaitu dengan silika gel pada pelat alumenium/ plastik. Untuk zat yang mudah menguap dilakaukan dengan teknik Kromatografi Gas. Teknik lain adalah dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Suyitno, 2008).
Spektofotometer menghitung jumlah sel berdasarkan banyaknya cahaya yang diabsorbsi oleh sel-sel yang ditaruh dalam suatu larutan, sedangkan metode hemasitometer atau Counting chamber yaitu menghitung jumlah sel secara manual di bawah mikroskop. Selain untuk menghitung jumlah sel-sel kultur tanaman, spektrofotometer dan hemasitometer biasa digunakan untuk menghitung jumlah sel mikroorganisme dan sel darah merah. Aplikasi dari kuantifikasi sel yaitu seperti perhitungan sel darah manusia untuk mengetahui apakah sel darah pada tubuh pasien normal atau tidak.
Panjang gelombang untuk sinar ultraviolet antara 200-400 nm sedangkan panjang gelombang untuk sinar tampak/visible antara 400-750 nm. Spektrofotometri elektromagnetik monokromatik, yang diserap zat. Spektrofotometer pada dasarnya terdiri atas serapan panjang adalah gelombang pengukuran tertentu yang sumber sinar monokromator, tempat sel untuk zat yang diperiksa, detektor, penguat arus dan alat ukur atau pencatat (Anonim1).
Larutan yang berwarna akan menyerap panjang gelombang sinar tertentu. Setiap larutan akan menyerap panjang gelombang tertentu secara maksimal. Semakin banyak zat terlarut akan menyerap panjang gelombang tertentu lebih besar. Dengan demikian perbedaan serapan sinar menunjukkan intensitas zat terlarut yang diukur. Ada hubungan antara penyerapan sinar atau panjang gelombang tertentu denan konsentrasi larutan. Besarnya sinat diserap larutan disebut “Optical density (OD) atau nilai Absorbansi (Suyitno, 2008).
Sebagian sinar yang tidak terserap merupakan sinar yang dilewatkan (transmit), disebut nilai transmitan (Suyitno, 2008). Biasanya dinyatakan dalam persen (%) yaitu menggunakan rumus
T = Is/Io.
Nilai absorbansi merupakan negatif dari log transmitansinya.
OD [A] = - log T
Nilai A (absorbansi) atau Optical density  memiliki hubungan linier dengan konstanta (k), tebal larutan yang dilalui (b) dan konsentrasi (Suyitno, 2008).  Hubungan itu dapat dinyatakan dalam persamaan berikut :
A  =  k. b. c
Pada percobaan ini hanya akan dilakukan kuantifikasi sel menggunakan spektrofotometer saja, sedangkan hemasitometer tidak dilakukan dalam percobaan kali ini. Prinsip kerja dari spektrofotometer adalah apabila ada sebuah berkas cahaya akan jatuh pada suatu medium homogen, sebagian sinar yang masuk akan dipantulkan dengan sudut yang berbeda-beda, ada sebagian lagi yang diserap oleh medium yang dilalui oleh berkas cahaya itu dan sisanya akan diteruskan. Nilai yang diperoleh adalah nilai tidak diserap maupun yang tidak dipantulkan oleh medium, dan selanjutnya dinamakan nilai absorbansi atau Optical Density (OD). Hukum Beer menyatakan bahwa absorbansi cahaya pada spektrofotometer berbanding lurus dengan konsentrasi dan ketebalan bahan atau medium. Dengan hukum Beer itu dapat disimpulkan bahwa nilai OD yang terukur sebanding dengan jumlah sel yang ada dalam kultur yang diujikan dalam spektrofotometer. (Fujimura, et al, 1979)
Dalam percobaan kali ini dilakukan perhitungan serapan maksimum setiap pigmen warna yang ada pada bagian tumbuhan atau sampel. Pada mulanya, senyawa-senyawa pigmen tersebut diekstraksi dengan menggunakan methanol untuk mendapatkan jumlah ekstrak yang optimal dan kemudian dianalisis pada panjang gelombang 660 nm yang merupakan panjang gelombang cahaya tampak pada spektrofotometer.
Pada grafik absorbansi gelombang cahaya dengan panjang gelombang antara 400 nm - 700 nm didapatkan bahwa terdapat perbedaan nilai serapan antar pigmen warna. Pada ekstrak daun yang mengandung pigmen hijau, puncak grafik terdapat pada panjang gelombang 475 nm dan puncak kedua pada panjang gelombang sekitar 612.5 nm.
Warna hijau pada daun ini disebabkan adanya klorofil A. Klorofil A memiliki serapan maksimum di daerah 380-430 nm dan 530-665 nm dalam pelarut organik (Christiana et. al., 2008). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai yang didapat dari absorbansi pigmen hijau dari percobaan sesuai dengan nilai referensi. Serapan klorofil A yang cukup luas jangkauannya membuat molekul ini cenderung tidak stabil terhadap cahaya atau mudah mengalami fotodegradasi.
Klorofil adalah kelompok pigmen fotosintesis yang terdapat dalam tumbuhan, menyerap cahaya merah, biru dan ungu, sehingga sinarnya tidak tampak oleh mata manusia. Pigmen ini juga merefleksikan cahaya hijau yang menyebabkan tumbuhan memperoleh ciri warnanya (Christiana et. al., 2008). Karakteristik ini berlaku untuk semua warna sehingga warna cahaya yang dipantulkan akan tampak oleh mata manusia seperti warna hijau ini.
Pada ekstrak bunga ungu, puncak grafik terdapat pada panjang gelombang 525 nm. Menurut literatur yang didapatkan, nilai absorbansi maksimum warna ungu terdapat pada panjang gelombang 543 nm. Warna ungu ini disebabkan adanya pigmen Delpinidin, dan Antosianin dalam bunga (Herlina et. al., 2012). Nilai tersebut agak berbeda jauh dari nilai percobaan yang telah dilakukan.
Sedangkan untuk bunga merah, puncak grafik terdapat pada panjang gelombang sekitar 425 nm. Menurut literatur yang didapatkan, nilai absorbansi maksimum warna merah terdapat pada panjang gelombang antara 496 nm sampai 525 nm (Herlina et. al., 2012). Dari percobaan didapatkan nilai absorbansi yang jauh dari nilai literatur yang didapat, hal ini dimungkinkan karena terdapat adanya metabolit-metabolit penggangu yang ikut terekstrak saat percobaan yang mampu ikut mengabsorbsi cahaya yang dihasilkan dari spektrofotometer. Selain itu, hal ini juga dipengaruhi oleh pemilihan spesies tumbuhan yang akan diekstrak. Perbedaan warna yang sedikit dapat memengaruhi nilai panjang gelombang absorbansi maksimum (Herlina et. al., 2012).
Warna merah ini disebabkan adanya pigmen Antosianin, Sianidin, 3-Glukosida dan Pelargonidin 3,7-Diglukosida dalam bunga. Selain itu pigmen Antosianin ini menimbulkan warna merah jambu, merah marak, merah, merah senduduk, ungu, dan biru pada kelopak bunga, daun, dan buah tumbuhan tingkat tinggi.
Pada grafik, ekstrak bunga yang berpigmen kuning memiliki puncak grafik pada panjang gelombang 450 nm. Sedangkan dari literatur yang didapat panjang gelombang maksimum dari warna kuning itu adalah 449,6 nm. Dengan hasil percobaan tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang jauh dari panjang gelombang yang didapatkan dari percobaan dan literatur.
Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa setiap warna atau setiap zat pigmen memiliki panjang gelombang penyerapan efektifnya sendiri. Dengan perbedaan warna yang sedikit akan memengaruhi panjang gelombang serapan efektifnya.
Pada percobaan kali ini juga dilakukan pendekatan untuk menghitung jumlah sel bakteri Bacillus sphaericus dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 660 nm. Pada panjang gelombang tersebut, dapat teramati nilai absorbansi berbeda untuk setiap konsentrasi sampel. Serial dilution atau pengenceran berseri dilakukan agar didapatkan konsentrasi berbeda dari sampel bakteri, sehingga didapatkan nilai absorbansi berbeda pula dari analisis menggunakan spektrofotometer. Dengan nilai absorbansi yang berbeda tersebut, kurva baku dapat dibuat, untuk kemudian dicari persamaan kurva bakunya. Persamaan kurva baku tersebut selanjutnya dapat dijadikan sebagai formulasi untuk menentukan konsentrasi bakteri yang tidak diketahui. Pada perhitungan jumlah sel bakteri tidak dilakukan pada hemasitometer, hal ini dikarenakan sel bakteri berukuran sangat kecil.
Dari data yang didapat, terdapat beberapa data yang tidak sesuai, yaitu nilai absorbansi suatu sampel lebih rendah dari sampel lainnya yang memiliki konsentrasi yang lebih rendah. Seharusnya, nilai absorbansi sebanding dengan jumlah konsentrasi sampel, semakin tinggi nilai konsentrasi sampel, semakin tinggi pula nilai serapan atau absorbansinya.
Kesalahan tersebut bisa terjadi akibat berbagai faktor, salah satunya adalah faktor nonhomogenitas koloni bakteri dalam sampel. Bakteri Bacillus sphaericus memiliki sifat mudah menempel satu sama lain, karena sifatnya tersebut seringkali bakteri tersebut dipakai sebagai agen biologis pada proses flokulasi dan mengendap di bagian bawah kuvet. Seharusnya sebelum dilakukan pengamatan dilakukan homogenisasi terlebih dahulu dan pengerjaannya seharusnya dilakukan secara cepat mengingat bakteri cepat membentuk flok dalam waktu yang singkat.
Sel bakteri yang dianalisis memiliki umur selama 12 jam. Data diambil dengan memasukkan nilai absorbansi ke kurva baku dari data yang didapat kemudian dirata-ratakan dan menghasilkan jumlah sel Bacillus sphaericus setelah 12 jam sebanyak 3,464,568,705 bakteri. Menurut literatur, Jumlah bakteri setelah berumur 12 jam yaitu 687,194,767,360 (Keiser).
Dari data tersebut memiliki perbedaan yang cukup jauh. hal ini dimungkinkan karena medium yang digunakan untuk mengkultur bakteri kekurangan nutrisi ataupun kondisi lingkungan bakteri yang kurang baik, sehingga bakteri tidak mampu berkembangbiak dengan baik.
KCKT merupakan instrumen kromatografi kolom yang dilengkapi dengan detector. Dengan alat ini nantinya didapatkan data retention time. Retention time bagi tiap senyawa dalam sampel akan berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh sifat polaritas senyawa sampel dengan eluen maupun fasa diam. Apabila polaritas senyawa pada sampel mendekati sifat polaritas pada eluen, maka senyawa tersebut akan lebih mudah terpisah dari senyawa lainnya dan ikut bergerak ke arah bawah bersama fasa gerak atau eluen, melewati fasa diam.
Rentang retention time yang didapat bernilai antara 3.44 hingga 3.46. Semakin rendah konsentrasi sampel, nilai retention time semakin tinggi. Hal ini menyebabkan senyawa menjadi lebih sulit dipisahkan dari senyawa lain, jika kadar dalam sampel tersebut tidak cukup banyak.
Retention time merupakan waktu yang diperlukan bagi senyawa untuk terpisah dari senyawa lainnya dalam suatu sampel. Suatu senyawa dalam kromatografi kolom, khususnya KCKT akan terpisah dari senyawa lainnya berdasarkan prinsip kepolaran. Kepolaran disini akan memengaruhi interaksi molekul dari eluen, fasa diam dan senyawa sampel.
Nilai retention time yang dihasilkan dari pengamatan menggunakan 2 detektor berbeda memiliki perbedaan. Dengan RID rentang retention time yang dihasilkan adalah 3.44 hingga 3.46, sedangkan dengan UV-Vis Detector rentang retention time nya adalah 3.31 hingga 3.36.
RID merupakan detektor yang biasa dipakai untuk menganalisis senyawa yang tidak memiliki kromofor, namun memiliki tingkat sensitivitas yang rendah dibandingkan dengan UV-Vis D yakni 100 ng. Sedangkan UV-Vis D lebih sering digunakan karena memiliki sensitivitas cukup baik yakni 1 ng dan cara kerjanya lebih sederhana.
Berdasarkan hal sensitivitas detektor tersebut nilai retention time yang didapat dari RID dan UV-Vis D berbeda, dengan analisis UV-Vis D memiliki retention time yang lebih cepat 0.1 detik daripada RID.
Luas area yang didapat dari grafik menyatakan kuantitas dari suatu senyawa yakni merupakan pencerminan dari jumlah konsentrasi senyawa yang dianalisis. Umumnya, bentuk area grafik merupakan suatu kurva berpuncak, yang luas area di bawahnya dapat dihitung dengan menggunakan persamaan matematis untuk mencari luas segitiga. Grafik yang baik adalah grafik yang memuat kurva dengan 1 puncak. Luas segitiga area di bawah kurva tersebut merepresentasikan konsentrasi senyawa yang dianalisis. Semakin besar luas area, maka semakin banyak jumlah senyawa tersebut pada sampel, sehingga konsentrasinya juga semakin besar.
Data pengamatan yang didapat dari percobaan KCKT dimasukkan ke dalam plot konsentrasi terhadap luas area, maka akan didapatkan kurva yang kemudian dapat dicari persamaan regresinya. Dari persamaan regresi tersebut dapat dicari konsentrasi sampel yang telah diketahui luas areanya. Dimana menghasilkan nilai konsentrasi untuk sampel A 19.85580501 ppm, sampel B 49.01634577 ppm, sampel C 54.17146918 ppm, dan sampel D 93.33152944 ppm.
Pada analisis menggunakan KCKT digunakan methanol 100% sebagai eluen.  Hal ini dilakukan agar interaksi yang terjadi antar molekul berlangsung baik. Hal utama yang memengaruhi yaitu tingkat kepolaran antar sampel, eluen dan fasa diam.
Pada percobaan digunakan fasa diam berupa octadesyl sylil (ODS) dimana fasa gerak yang dapat dipakai antara lain methanol/air maupun asetonitril/air (Rohman, 2007).

0 komentar:

Posting Komentar