Rabu, 01 Agustus 2012

Hari pertama Ngaji di Pondok



Masjid begitu sesak. Penuh dengan anak-anak bersarung dan berkerudung. Aku tak menyangka kini aku benar-benar mondok. Kopyah, baju koko, sarung sudah aku pakai dan yang paling penting adalah kitab kuning yang dari tadi aku jinjing di tangan. Semua santri wajib mengikuti pembacaan kitab kuning oleh kyai di masjid pondok.

Masjid ini serasa sempit saat tujuh puluh orang santri dan santriwati mengikuti ngaji kitab di dalam masjid. Berwarna-warni warna sarung menghiasi lantai masjid.

Ini adalah hari pertama kalinya ngaji kitab di pondok ini setelah aku menjadi santri baru. Masjid ini bertingkat dua. Kami mengaji di lantai satu. Di kiri kanan ada dinding-dinding masjid yang bertuliskan sembilan puluh sembilan nama Allah. Tulisan kaligrafi nan elok berjajar dan menyambung tiada putusnya.

Santri putra berada di masjid bagian kanan sedangkan santri putri berada di sebelah kiri. Kami di hari pertama ini masih malu-malu. Dan mungkin saja hari ini adalah hari menyusun setrategi kebrutalan di hari kedua besok.

Selalu ada tegangan tinggi jika seorang laki-laki didekatkan dengan seorang anak perempuan. Apalagi ini tidak hanya berdua saja, tapi bertujuh puluh santri-santriwati. Dapat dibayangkan berapa volt lebih besar daya yang dihasilkan besok lusa atau kapanpun. Atau malah tidak ada yang berani untuk melakukan kebrutalan. Yang ada hanya suasana pondok yang adem ayem.

Suara merdu dari salah satu kyai pondok yang mengisi pembacaan kitab kuning kali ini membuat sebagian dari kami tidur dengan pulasnya. Kyai itu berkumis lebat yang sudah putih. Memakia sebuah kopyah putih di atas kepalanya. Memakai baju koko putih dan bersarung kotak-kotak berwarna hitam-hijau.

Masak anak muda ngantuk, sudah bukan zamannya lagi. Aku sebenarnya sangat ngantuk, apalagi tulisan arab gundul dari kitab kuningnya yang tidak begitu jelas dilihat. Banyak huruf-huruf yang cetakannya tidak jelas yang mendukung aku untuk merasakan rasa kantuk yang mendalam. Apalagi spasi antar kalimat-kalimat bertuliskan arab gundul juga kecil, sehingga aku harus memaknai miring dengan kesusahan. Tulisan bahasa jawa memakai huruf hijaiyah aku hias di sela-sela tulisan-tulisan bahasa arab yang masih kosong. Space yang sangat kecil. Susahnya minta ampun apabila tidak mampu menulis kecil sekecil semut.

Memaknai kitab kuning adalah petaka bagi semua orang yang tidak bisa menulis kecil-kecil. Ada saja sebagian dari santri yang hanya mendengarkan suara kyai namun tidak mencatatnya di kitab kuning. Yang paling parah adalah mereka yang tidur, sudah tidak mencatat juga tidak mendengarkan.

Mungkin diantara teman-teman lain, akulah tulisannya paling kecil. Entah mengapa, tetapi paling tidak aku sudah 6 tahun memaknai miring apalagi di kitab kuning. Bisa dibilang sudah teruji untuk menulis kecil-kecil sebesar semut. Bahkan bisa lebih kecil dari itu. Naluriku mengizinkan untuk menulis kecil. Kitab kuning adalah karya-karya ulama kuno yang masih relevan sampai sekarang. Kitab kuning adalah karya-karya ulama dahulu nan bersejarah. Mereka meniatkan mencari ilmu dengan keikhlasan yang tinggi. Mereka seperti haus akan ilmu pengetahuan hingga rela berkelana ke negara lain untuk mengobati dahaga ilmu pengetahuan itu.

Pernah aku ditegur Bapakku dan Ibuku, saat aku menulis tulisan latin yang sangat kecil sekali. Kecilnya minta ampun yang hampir tidak bisa dibaca oleh orang-orang yang kemampuan matanya tidak normal lagi.  Terkadang orang yang kemampuan matanya normal aja biasanya juga kesusahan untuk melihat tulisanku. Kalau perlu memakai kaca pembesar untuk membacanya.

Kitab kuning merupakan warisan leluhur islam yang sangat fenomenal. Kata Abah pondok, satu kitab untuk menyusunnya itu susah sekali. Membuat kitab kuning tidak hanya sekedar menulis begitu saja, tetapi kadar ibadah kita juga memengaruhi dari hasil kitab kuning itu sendiri. Baik ataupun buruknya.

Bagaimanapun usahanya seseorang untuk membuat kitab kuning, kalau Allah tidak mengizinkan pasti tidak akan tercipta kitab kuning yang bagus.

Teman disampingku sudah tidur pulas, dia bernama Reno. Dia berlinangkan air ludah di sekujur pipinya. Dia tidur dengan memegang sebuah pena dan kitab kuning masih terbuka. Reno tubuhnya sangat jangkung. Aku sebenarnya bisa dikatakan lumayan tinggi, tapi reno lebih tinggi melebihi aku. Dia tingginya 180 cm, sedangkan aku bertinggi 168 cm. Dia tingginya seperti para pemain sepakbola. Rambutnya hitam dan kulitnya berwarna sawo matang.

Ada juga anak yang tidur dengan mulut terbuka sangat lebar yang lebarnya tidak bisa diungkapkan. Tidak jarang juga ada satu anak yang mengusilin anak-anak yang tidur saat pembacaan kitab kuning. Memasukkan potongan kertas ke dalam mulut yang menganga besar tadi. Hingga anak itu gelagapan dan mengacaukan pembacaan kitab kuning. Tapi hal itu tidak di hiraukan oleh abah. Mungkin hal itu telah biasa sejak Abah mengajar para santri sejak 19 tahun lalu menggantikan posisi Bapak Beliau yang juga pendiri pondok ini.

Inilah awal kehidupan kami di Pondok yang akan berlangsung 3 tahun ke depan. Aku berniat untuk terus mondok sampai lulus madrasah aliyah nanti. Paling tidak aku bermimpi untuk menjadi kyai jika memang sehabis lulus nanti Bapak tidak mampu menyekolahkanku ke jenjang perkuliahan.

Sebenarnya di samping kanan kami adalah gerombolan santri-santri putri yang juga lesehan mengikuti pembacaan kitab kuning kali ini. Kami tidak bisa melihat wajah-wajah anak putri karena terhalang hijab berupa sebuah papan kayu yang tingginya 1,5 meter.

Jika saja tidak ada hijab, mungkin kami tidak akan fokus. Bisa saja kami saling curi-curi pandang kepada lawan jenis, karena memang itulah yang disebut kodrat Tuhan yang tidak bisa dihilangkan dan hanya bisa dicegah dengan adanya hijab. Kami hanya bisa melihat rok-rok ataupun sarung-sarung santri putri dari bawah hijab.

Nantinya, tidak jarang ada seorang yang melempar sebuah kertas ke salah satu kaki dari santri perempuan sehingga fokus mereka terpecah. Keusilan kami nanti akan lebih menjadi-jadi, aku hanya bisa tertawa dalam hati melihat santri-santri di sekitarku mengusilin santri laki-laki lain maupun menggodain santi perempuan.

Apakah pondok memang sebebas ini untuk melakukan sesuatu? Itulah pertanyaan yang muncul dari benakku. Mungkin aku bertanya balik kepada diriku, selama 3 tahun kedepan apakah seenak sekarang ataukah berat seberat apa yang aku belum tahu saat ini.

Baris demi baris aku lewati dengan memberikan goresan tinta ditiap sela cetakan hurup hijaiyah tanpa harokat. Tulisan arab gundul. Akhirnya berakhirlah jam mengaji setelah genap dua halaman kitab kuning. Disebut kitab kuning karena memang kertas yang digunakan adalah kertas berwarna kuning. Aku sampai saat ini belum tahu mengapa kertas yang digunakan berwarna kuning aneh, lagi pula tulisannya kecil-kecil tanpa harokat yang membuat kami, para santri-santriwati, kesulitan untuk memaknai miring dengan bahasa jawa dalam huruf hijaiyah.

Di akhir kami mengaji, kami diberi pesan oleh Abah.

“Santri-santri pondok baru, pesan abah untuk kalian semua. Carilah ilmu sebanyak mungkin di pondok ini. Istiqomahkan niat kalian untuk terus mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Begitu juga amalkanlah semua ilmu yang kalian dapatkan sekarang ke semua orang di sekitar kalian. Jangan menunggu setelah lulus baru kalian amalkan, tetapi amalkanlah sejak sekarang. Berat-ringannya selama mondok disini tergantung pada niat kalian. Seberat apapun saat mondok, tetap akan ada kemudahan diantara itu. Istiqomahlah dalam mengaji, walaupun kamu datang ke masjid ini lalu tidur. Insyaallah jika niatmu tulus untuk menuntut ilmu pasti tidurmu tadi dihitung sebagai amalan untuk menolongmu di hari kiamat kelak.”

Mengaji di malam ini telah usai, semua santri putra dan putri bergegas untuk kembali ke pondok masing-masing kecuali santri putra pondok depan yang memang masjid ini berada di halaman pondok mereka. Wajah-wajah yang kuyu ingin cepat tidur menghiasi kami semua. Sarung-sarung para santri seperti ingin lepas dari tempatnya. Kopyah hitam maupun putih sudah mulai condong ke kiri maupun kanan seperti menara pisa di negara italia. Kerudung para santriwati sudah tidak serapi saat berangkat.

Sandal-sandal begitu berserakan di bawah pintu masjid bagian kanan masjid. Disana ada tujuh puluh pasang sandal yang membentuk setengah lingkaran dengan lantai serambi masjid ini sebagai garis tengahnya. Warna-warninya sandal ini seperti mimpi kami, mimpi anak pondok yang mencari ilmu agama di pondok ini. Bermacam-macam cita-cita nantinya lahir dari pondok ini. Berbagai impian nantinya akan terwujud disini, pondok pesantren salaf.

Dalam keadaan mengantuk, ternyata masih ada kesempatan untuk mencuri-curi kesempatan melihat wajah-wajah di balik kerudung anak-anak santriwati yang dari tadi terhalang oleh hijab kayu. Dari dalam kaca masjid ada sebagian yang mengintip untuk melihat wajah-wajah cantik dari santri putri. Bersembunyi bak siput yang malu-malu saat disentuh. Mencari kesempatan langka bisa melihat wajah santri putri secara langsung. Mata kami langsung mentereng sesaat setelah melihat wajah-wajah cantik santri putri.

Ada juga sebagian yang masih bercakap-cakap di dalam masjid.  Selain itu ada juga yang mulai mengusilin santri-santri putri yang berjalan balik ke pondok putri dengan memanggil-manggil nama mereka.

Namun dari semua itu terlihat wajah-wajah cuek santri putri dan sebagian lagi tertawa-tawa kecil mendengar godaan dari santri putra yang dari tadi terus memanggil-manggil tanpa merasa malu.

“Plakkkkkkk.” Suara jidatku ditampar dengan sebuah telapak tangan yang datang tiba-tiba.

“Hayooo, merperhatikan siapa itu!” canda reno dengan logat memaksa agar aku memberitahunya.

“Ndak kok, Cuma iseng-iseng aja lihat santri putri.” Aku hanya bisa nyegir. Untung tidak sampai ketahuan Reno. Masak baru pertama kali lihat anak perempuan sudah ketahuan?

“Awas ya kalau ketahuan.” Reno menggunakan nada yang agak menyebalkan. Tidak enak didengar.

Para santri putri yang berkerudung sudah mulai habis, tidak jarang mereka membalas dengan mencuri pandang santri-santri putra yang ada di dalam masjid.

2 komentar:

  1. pos terjadwal selanjutnya
    5 AGUSTUS petasan ramadhan ke 1
    10 Agsts petasan Ramadhan ke 2
    Bercerita pengalaman di pondok dulu saat ngerjain santri putri pondok sebelah :)

    BalasHapus
  2. woalah tole2, lha kok ternyata km juga bs badung *geleng2 sambil senyum

    BalasHapus